Lingkungan
Selasa, 09 September 2025 12:18 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Pestapora 2025 yang berlangsung pada 5–7 September 2025 menarik perhatian publik. Di tengah jalannya festival, pihak penyelenggara memutuskan hubungan kerja sama dengan PT Freeport Indonesia yang semula menjadi sponsor. Keputusan ini diambil setelah muncul gelombang kritik serta mundurnya sejumlah penampil utama akibat keterlibatan Freeport sebagai pendukung acara.
Fenomena yang muncul di Pestapora cukup menarik disimak. Gelombang protes terhadap perusahaan besar bukan hanya terjadi di jalanan atau ruang sidang. Dalam beberapa tahun terakhir, aksi demonstrasi juga merambah ke ruang-ruang seni dan budaya.
Munculnya artwashing menjadi salah satu hal yang dikritik dalam pelaksanaan event seni belakangan ini.
Publik kian menyadari adanya praktik yang disebut artwashing, upaya perusahaan yang memiliki rekam jejak kotor memoles citranya dengan menjadi sponsor acara musik, pameran seni, hingga festival kebudayaan.
Fenomena ini muncul mirip dengan praktik greenwashing, di mana perusahaan menampilkan diri seolah ramah lingkungan untuk menutupi dampak buruk bisnis mereka. Bedanya, artwashing memanfaatkan simbol seni dan budaya yang dianggap luhur dan positif sebagai alat legitimasi.
Dengan cara itu, perusahaan berusaha mendapat izin sosial atau (social license to operate), meski kegiatan bisnis utamanya masih menimbulkan kerusakan lingkungan maupun masalah etika.
Gelombang kritik terhadap artwashing semakin besar ketika aktivis budaya dan lingkungan melakukan aksi protes di museum-museum dunia. Salah satunya, aksi kelompok “BP or not BP?” yang mengecam keterlibatan raksasa minyak British Petroleum (BP) dalam mendanai program seni di Inggris.
Tekanan publik ini mendorong beberapa institusi besar, seperti Tate, National Portrait Gallery, dan Royal Opera House, akhirnya memutus kontrak sponsor dengan BP. Meski begitu, British Museum dan Science Museum masih mempertahankan kerja sama, dengan alasan kebutuhan dana untuk proyek revitalisasi.
Padahal, kontroversi BP semakin mencuat setelah perusahaan itu diketahui menurunkan target iklimnya sekaligus memperbesar investasi di sektor minyak dan gas. Situasi ini memicu pertanyaan mendasar bagaimana mungkin sebuah museum yang menjadi ruang edukasi publik justru menerima dana dari perusahaan yang melanggengkan krisis iklim?
Kontradiksi ini membuat banyak aktivis menilai sponsor tersebut bukan sekadar dukungan finansial, melainkan upaya sistematis untuk mencuci citra buruk di mata publik. Kritik serupa juga muncul di Amerika Serikat dan Eropa, di mana perusahaan minyak, perbankan, bahkan produsen alkohol kerap tampil sebagai sponsor festival musik dan pameran seni.
Baca Juga: Dukungan Freeport Picu Polemik di Event Musik Pestapora 2025
Seniman, yang sejatinya berperan sebagai pengkritik sosial, justru dijadikan medium branding korporasi. Dalam konteks lain, praktik artwashing juga sering dikaitkan dengan gentrifikasi. Developer properti menggunakan mural, galeri, atau event seni untuk menaikkan citra kawasan, sebelum akhirnya menaikkan harga sewa dan menggusur komunitas lama.
Di Indonesia, praktik serupa juga terlihat. Beberapa perusahaan tambang dan energi yang mendapat sorotan akibat kerusakan lingkungan justru aktif menjadi sponsor konser musik skala besar maupun festival budaya.
Tak sedikit pula brand rokok yang selama bertahun-tahun melekat dengan citra anak muda melalui dukungan ke ajang musik indie, meskipun produk mereka menimbulkan masalah kesehatan serius.
Dukungan finansial semacam ini kerap membuat publik terkecoh perusahaan tampil progresif dan dekat dengan generasi muda, padahal dampak bisnisnya masih jauh dari kata berkelanjutan.
Bagi publik, kesadaran terhadap praktik artwashing menjadi penting. Seni dan kebudayaan idealnya berfungsi sebagai ruang kritis, bukan alat pencitraan yang menutupi dampak buruk perusahaan.
Tekanan sosial terbukti mampu mengubah arah kebijakan lembaga seni. Kasus pemutusan sponsor BP oleh beberapa institusi budaya di Inggris menunjukkan bahwa suara publik bisa memberi dampak nyata, meski tantangan melawan dominasi modal besar masih panjang.
Pada akhirnya, artwashing mengingatkan kita bahwa citra indah yang dipoles di atas panggung seni tidak selalu mencerminkan realitas di balik panggung. Transparansi pendanaan dan integritas institusi budaya menjadi kunci agar seni tetap menjadi medium kritik, bukan alat legitimasi bisnis bermasalah.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 08 Sep 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 09 Sep 2025
Bagikan