inflasi
Jumat, 11 April 2025 12:26 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan penghapusan sistem kuota impor, sebuah kebijakan penting yang disampaikan pada Selasa, 8 April 2025, dalam pertemuan bersama pejabat tinggi negara dan para pelaku usaha nasional di Jakarta.
Dalam pernyataannya, Prabowo menegaskan bahwa praktik kuota impor dan penunjukan importir selama ini telah mengganggu mekanisme pasar, menciptakan ketimpangan, dan lebih banyak menguntungkan kelompok tertentu. Lewat kebijakan baru ini, pengusaha yang memenuhi kriteria kini dapat melakukan impor secara terbuka, tanpa harus mengikuti sistem kuota atau penunjukan khusus—terutama untuk komoditas penting seperti daging.
Langkah ini bertujuan membuka akses perdagangan internasional yang lebih luas, khususnya bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Pemerintah berharap kebijakan ini dapat mendorong terciptanya iklim persaingan yang sehat, menyederhanakan birokrasi, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Presiden Prabowo menyoroti bahwa komoditas seperti daging selama ini terhambat oleh regulasi kuota, dan menegaskan siapa pun yang mampu serta memenuhi ketentuan dapat mengimpor komoditas tersebut tanpa batasan kuota.
Instruksi ini telah disampaikan secara langsung kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Energi Nasional (DEN), dengan perintah tegas untuk menghapus sistem kuota impor yang dianggap sudah tidak relevan dan tidak adil.
Meski kebijakan ini dinilai progresif dan pro-pasar, sejumlah ekonom dan pengamat industri memperingatkan dampak negatif yang mungkin timbul. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut bahwa relaksasi impor harus dilakukan secara hati-hati agar tidak merugikan pelaku usaha lokal.
“Relaksasi impor harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan jika sistem kuota dihapus: risiko banjir produk murah dari luar, dan melemahnya daya saing industri nasional,” ujar Bhima, dikutip dari Antara, Rabu, 9 April 2025.
Bhima mencontohkan potensi membanjirnya produk tekstil dan pakaian jadi dari negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, dan China, yang saat ini tengah mencari pasar baru akibat ketegangan dagang global.
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini dapat merusak program swasembada pangan yang menjadi visi besar Presiden Prabowo, karena membuka ruang besar bagi produk luar menekan petani dan produsen dalam negeri.
Bhima dan sejumlah pelaku industri juga mempertanyakan keberadaan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024, yang hingga kini belum direvisi. Peraturan tersebut dinilai membatasi ruang gerak industri dalam negeri dan justru tidak selaras dengan semangat deregulasi.
“Banyak pelaku industri lokal meminta agar Permendag 8 direvisi. Tapi, kalau impor dilonggarkan tanpa revisi aturan ini, bukankah ini justru membahayakan sektor produksi dalam negeri?” ungkap Bhima.
Sebelumnya, sistem kuota impor diberlakukan dengan tujuan utama melindungi industri lokal, menjaga stabilitas harga pasar domestik, serta mengatur neraca perdagangan dan penggunaan devisa. Sistem ini juga berfungsi sebagai instrumen untuk melindungi petani dan UMKM dari gejolak harga akibat masuknya produk asing murah.
Namun, mekanisme kuota dinilai memiliki banyak kelemahan: rentan terhadap praktik rente ekonomi, percaloan, serta penyalahgunaan izin impor. Ketidakefisienan ini menjadi salah satu alasan utama pemerintah mendorong liberalisasi.
Meski begitu, kebijakan impor bebas tetap perlu diimbangi dengan strategi pembangunan produksi dalam negeri yang lebih kompetitif. Pemerintah didesak untuk menyiapkan skema transisi seperti subsidi, pelatihan teknologi, perlindungan harga, dan insentif bagi produsen lokal.
Tanpa perlindungan memadai, keterbukaan pasar justru dapat memperbesar ketimpangan dan mengancam ketahanan pangan nasional—sebuah visi yang selama ini diusung oleh Presiden Prabowo sendiri.
Kebijakan penghapusan kuota impor membawa potensi efisiensi dan deregulasi yang signifikan. Namun, implementasinya membutuhkan keseimbangan yang cermat agar tidak mengorbankan sektor industri dalam negeri, terutama pertanian, peternakan, dan manufaktur padat karya yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 09 Apr 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 11 Apr 2025
Bagikan
Prabowo Subianto
sehari yang lalu
TKDN 40%
5 hari yang lalu