Doom Spending: Bahaya Keuangan yang Mengintai Generasi Z dan Milenial

Senin, 30 September 2024 10:47 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Kenali Apa Itu Doom Spending yang Dikhawatirkan Memiskinkan Gen Z hingga Milenial
Kenali Apa Itu Doom Spending yang Dikhawatirkan Memiskinkan Gen Z hingga Milenial (Freepik)

JAKARTA – Baru-baru ini viral sebuah studi yang menyebutkan bahwa Generasi Z dan Milenial diperkirakan akan menjadi lebih miskin daripada generasi sebelumnya akibat tren doom spending atau pengeluaran yang tak terkendali.

Fenomena mengerikan ini muncul karena generasi tersebut terjebak dalam perilaku pengeluaran yang tidak sehat. Kedua generasi ini sering kali menghabiskan uang untuk berlibur, membeli pakaian, dan barang-barang mewah, daripada menabung.

Biasanya, tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk self reward setelah bekerja keras, sekaligus untuk mengatasi rasa cemas.

Lantas apa sebenarnya doom spending itu?

Doom Spending

Jika tahun 2023, tren belanja yang muncul adalah girl math, maka di tahun ini, kemungkinan besar doom spending akan makin marak dilakukan. Jika kedua tren ini dibandingkan, doom spending akan sangat berbahaya bagi kehidupan finansial.

Doom spending terjadi ketika seseorang melakukan belanja tanpa berpikir panjang. Biasanya, fenomena ini dilakukan sebagai bentuk pelarian dari stres atau kecemasan terkait situasi ekonomi dan ketidakpastian masa depan.

Berbeda dengan retail therapy, yang merupakan tren berbelanja untuk meringankan stres karena masalah pribadi seperti putus cinta dan lain sebagainya, doom spending menyangkut kekhawatiran tentang kondisi ekonomi dan stabilitas global.

Keberadaan ponsel pintar yang mempermudah akses informasi mengenai krisis ekonomi, perang, dan isu lingkungan dapat memperburuk fenomena ini. Fitur pembayaran seperti Buy Now, Pay Later (BNPL) juga semakin mendorong perilaku belanja impulsif.

Generasi Muda Memimpin Serangan Belanja

The Intuit Credit Karma menemukan, sedikit lebih dari seperempat (27%) dari seluruh warga Amerika menghabiskan uang untuk mengatasi stres, termasuk 35% dari Gen Z dan 43% dari generasi milenial.

“Banyak anak muda yang putus asa saat ini. Harga rumah sangat tinggi, baik harga sewa maupun harga beli. Saya mendengar banyak generasi milenial dan Gen Z mengatakan mereka tahu mereka tidak akan pernah mampu membeli rumah sendiri,” kata Kendall Meade, perencana keuangan bersertifikat di SoFi.

Dia menjelaskan, banyak anak muda juga memiliki pembayaran pinjaman mahasiswa dan sangat kewalahan sehingga mereka hanya menghabiskan sisa uangnya setiap bulan alih-alih menabung.

“Kelompok ini tumbuh dewasa di tengah periode yang ditandai oleh ketidakstabilan ekonomi, upah yang stagnan, dan meningkatnya biaya hidup, yang dapat menyebabkan meningkatnya kecemasan finansial,” kata Cameron Burskey, mitra dan direktur pelaksana Retirement Security di Cornerstone Financial Services.

Ia menambahkan, individu yang lebih muda sering kali kurang memiliki literasi keuangan dan perspektif jangka panjang yang dibutuhkan untuk menahan diri dari pengeluaran impulsif, terutama ketika dihadapkan dengan pemicu stres yang mendesak.

Ylva Baeckström, dosen senior di bidang keuangan dari King’s Business School, menyebut doom spending sebagai kebiasaan fatalistis yang berbahaya.

“Anak muda menerjemahkan perasaan buruk mereka menjadi kebiasaan belanja yang tidak sehat,” jelasnya.

Karena masalah ini, Baeckström memprediksi generasi Z dan milenial akan memiliki kondisi finansial yang lebih buruk dibandingkan generasi sebelumnya.

“Generasi sekarang mungkin tidak akan mencapai apa yang dicapai orang tua mereka,” imbuhnya.

Survey Monkey melakukan peninjauan terhadap 4.342 orang dewasa di seluruh dunia. Hanya 36,5% dari mereka yang merasa kondisi finansial mereka lebih baik daripada orang tua mereka secara finansial. Sementara, 42,8% lainnya merasa khawatir dan pesimis terhadap kondisi keuangan yang diperkirakan akan semakin memburuk di masa depan.

Sebuah survei dari The Intuit Credit Karma menunjukkan, hampir 96% orang Amerika khawatir dengan keadaan ekonomi dan lebih dari seperempat dari mereka menghabiskan uang untuk mengatasi stress yang mereka rasakan.

Perasaan ini dapat dimengerti, karena biaya hidup telah meningkat sebesar 20,8% sejak tahun 2020.

“Saya yakin dengan inflasi yang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang merasa kecewa karena pendapatan mereka tidak lagi mencukupi. Mereka mulai menyerah pada pencapaian tujuan mereka dan hanya berusaha bertahan, tetapi tetap ingin memanjakan diri dengan cara apa pun yang mereka bisa,” kata Meade.

Dia menambahkan, utang kartu kredit dan suku bunga juga telah meningkat, sehingga pembayaran utang memakan porsi lebih besar dari pendapatan masyarakat.

Media sosial dapat memperburuk masalah ini. “Munculnya media sosial dapat memperburuk FOMO (fear of missing out), yang mendorong orang untuk menghabiskan uang dalam upaya untuk mengikuti norma-norma sosial yang berlaku,” kata Burskey.

Meskipun dapat dimengerti, pengeluaran untuk mengatasi stress/tekanan finansial dapat dengan cepat menyebabkan kemerosotan. Pada tahun 2023, sekitar sepertiga orang Amerika melaporkan peningkatan utang, dan hampir setengahnya mengatakan saldo tabungan mereka berkurang.

Salah satu maraknya aplikasi belanja online memudahkan seseorang untuk menghabiskan uangnya. Banyak orang secara tidak sadar menjadi impulsif karena ingin memenuhi rasa FOMO.

Stefania Troncoso Fernandez, mantan pelaku doom spending, mengungkapkan ia menghabiskan uang karena merasa tidak mampu membeli rumah. Ia menambahkan, doom spending seperti menjadi fenomena yang menyebar di lingkungan pertemanannya.

Doom spending sering dianggap sebagai bentuk pelarian diri. Hal ini muncul karena ketidakpuasan terhadap pekerjaan atau tekanan yang dianggap terlalu berat, sehingga perlu ruang untuk menerima tersebut.

Di tengah ketidakpastian ini, banyak anak muda mengadopsi pola pikir You Only Live Once (YOLO) dan memilih untuk menikmati hidup dengan membelanjakan uang untuk barang-barang mewah. Fenomena ini semakin diperburuk dengan kemudahan akses ke pinjaman online melalui berbagai platform media sosial.

Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, nilai penyaluran pinjaman online atau fintech lending mencapai Rp20,53 triliun pada Agustus 2023. Dari jumlah tersebut, 60% pengguna berasal dari kalangan milenial dan generasi Z yang berusia 19-34 tahun.

Fenomena doom spending ini menimbulkan kekhawatiran bahwa generasi muda tidak hanya menghadapi tekanan ekonomi, tetapi juga berisiko terjebak dalam utang, yang dapat memperburuk kondisi keuangan mereka di masa depan.

Cara Mengatasi Doom Spending

Baeckström menekankan pentingnya memahami hubungan Anda dengan uang untuk mengatasi pengeluaran yang tidak perlu. Membiasakan sikap hemat tak lepas dari edukasi finansial yang diajarkan orangtua kepada anaknya.

Selain itu, berbelanja di toko fisik dianggap mampu mengatasi perilaku doom spending. Ketika membeli secara langsung, Anda dituntut untuk berpikir lebih kritis karena ada banyak pertimbangan yang perlu dipikirkan dengan matang, seperti memilih toko, pergi ke lokasi, mengevaluasi barang, serta antre dan lainnya.

Di samping itu, Anda juga bisa melakukan penganggaran. Meade merekomendasikan aturan 50/30/20, yang melibatkan alokasi 50% dari pendapatan Anda untuk pengeluaran yang penting, 30% untuk pengeluaran yang bersifat diskresioner, dan 20% untuk tujuan lainnya.

Dengan pendekatan ini, Anda dapat menggunakan sebagian uang untuk bersenang-senang sambil memastikan bahwa Anda juga bekerja menuju tujuan jangka panjang.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 30 Sep 2024 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 30 Sep 2024