Hidup Hemat Bisa Jadi Bumerang, Begini Risikonya

Senin, 22 September 2025 09:10 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Ketahui Sisi Gelap Frugal Living yang Justru Lebih Merugikan
Ketahui Sisi Gelap Frugal Living yang Justru Lebih Merugikan

JAKARTA – Hidup hemat memberikan banyak keuntungan. Setiap rupiah dapat digunakan secara optimal, membantu terhindar dari jeratan utang, serta mendorong pola hidup yang lebih sederhana.

Tidak sedikit blog, buku, hingga influencer yang menggaungkan gaya hidup frugal living, mulai dari rajin menggunakan kupon, memasak sendiri, sampai menolak kemewahan yang dinilai tidak penting.

Daya tariknya jelas, yaitu bisa menabung lebih banyak, mengurangi pengeluaran, dan menjalani kehidupan yang sederhana sekaligus bermakna. Tetapi, apa jadinya jika hidup hemat justru terasa sebagai beban alih-alih solusi?

Meski hidup hemat memang dapat memberi keuntungan finansial dan rasa pencapaian, praktik yang terlalu ekstrem bisa menimbulkan stres, frustrasi, bahkan kelelahan.

Untuk itu, mari kita bahas sisi gelap dari frugal living dan bagaimana hal itu bisa berbalik merugikan kehidupanmu.

Sisi Gelap Hidup Frugal Living yang Diam-diam Bisa Merusak Hidup

Dilansir dari The Simplicity Habit, berikut sisi gelap gaya hidup frugal living yang diam-diam bisa merusak hidup:

1. Beban Mental dari Penganggaran yang Terus-Menerus

Salah satu kelemahan dari gaya hidup hemat adalah tekanan mental yang muncul akibat harus mengatur setiap rupiah. Mudah sekali terjebak dalam kebiasaan mencatat semua pengeluaran, mencari harga termurah, dan berusaha memaksimalkan setiap uang yang dimiliki.

Meski penganggaran merupakan alat yang efektif untuk mencapai tujuan keuangan, proses ini juga bisa terasa melelahkan.

Ketika mulai meneliti setiap pembelian dan terus-menerus mempertanyakan apakah sesuatu layak dibeli, hal ini dapat menimbulkan kelelahan dalam mengambil keputusan.

Bahkan pembelian kecil, seperti secangkir kopi atau belanja harian, bisa berubah menjadi keputusan emosional yang menguras energi pikiran.

Seiring waktu, hal ini bisa menimbulkan perasaan seakan terbelenggu oleh batasan keuangan sendiri, sehingga menyisakan sedikit ruang untuk spontanitas maupun kesenangan.

Selain itu, kebiasaan menghitung setiap pengeluaran juga bisa membuat kita sulit menikmati hal-hal kecil yang menyenangkan tanpa rasa bersalah.

Kamu mungkin jadi sering bertanya-tanya apakah hangout bersama teman atau liburan singkat benar-benar “sepadan,” meskipun pengalaman tersebut sebenarnya bermanfaat bagi kesehatan emosional.

2. Kehilangan Pengalaman Berharga

Gaya hidup hemat sering kali berarti harus berkata “tidak” pada hal-hal yang membawa kebahagiaan atau menciptakan kenangan, seperti makan di luar, bepergian, atau menghadiri acara tertentu.

Meski cara ini efektif untuk menghemat uang, dampaknya bisa membuat kita melewatkan pengalaman yang bernilai.

Hidup tidak hanya soal tujuan finansial, tetapi juga tentang menjalin hubungan, menciptakan kenangan, dan menikmati momen yang ada.

Ketika frugalitas ditempatkan di atas segalanya, kita bisa saja terus-menerus mengorbankan pengalaman. Misalnya, melewatkan konser karena harga tiket yang mahal, atau menolak undangan makan malam karena tidak sesuai anggaran.

Meski pengorbanan kecil itu tampak sepele pada awalnya, lama-kelamaan bisa menumpuk dan membuat kita merasa terputus dari lingkungan sekitar.

Beban emosional akibat melewatkan pengalaman juga dapat menimbulkan rasa kesal atau bahkan iri. Perlahan, muncul perasaan seolah hidup dijalani dalam keterbatasan, dan rasa kekurangan itu dapat mengikis kesejahteraan batin.

Namun, menghemat uang tetap bisa dilakukan sambil menikmati hidup, asal dijalani dengan kesadaran dan keseimbangan.

3. Mengejar Kesempurnaan

Sisi lain yang kurang menyenangkan dari hidup hemat adalah kecenderungan untuk terus mengejar kesempurnaan dalam mengatur anggaran maupun berhemat.

Ketika frugalitas berubah menjadi tujuan utama, bukan lagi sekadar alat untuk mencapai gambaran hidup yang lebih luas, hal ini bisa menjerumuskan pada perfeksionisme.

Kamu mungkin merasa harus selalu mendapatkan harga terbaik, tidak boleh menyia-nyiakan satu rupiah pun, atau menghindari pengeluaran yang dianggap tidak benar-benar penting.

Menetapkan tujuan finansial memang baik, tetapi dorongan terus-menerus untuk selalu sempurna justru bisa memicu rasa frustrasi. Hidup tidak selalu bisa diprediksi, ada kalanya kita harus melakukan pembelian tak terduga, atau menghadapi keadaan darurat yang memaksa mengambil dari tabungan.

Alih-alih menerima hal tersebut sebagai bagian wajar dari kehidupan, kamu bisa saja merasa telah “gagal” dalam berhemat, lalu dihantui rasa bersalah atau malu.

Pola pikir perfeksionis ini juga berpotensi menghalangi kamu menikmati hal-hal kecil dalam hidup.

Jika perhatian terus terpusat pada menekan setiap biaya, kamu bisa melewatkan kebahagiaan sederhana dari sesekali memanjakan diri atau menikmati sesuatu yang istimewa.

Sebagai gantinya, cobalah menerima ketidaksempurnaan dengan sederhana, dan nikmati hal-hal yang memang bisa kamu capai serta sisihkan.

4. Hidup Hemat Bisa Menyita Waktu

Menjalani gaya hidup hemat sering kali berarti harus meluangkan lebih banyak waktu untuk mengatur keuangan.

Ini bisa mencakup aktivitas seperti mengumpulkan kupon, membandingkan harga, menyiapkan makanan sendiri, atau memperbaiki barang alih-alih membeli yang baru.

Meski semua ini dapat menghemat uang dalam jangka pendek, prosesnya justru bisa sangat memakan waktu.

Padahal, waktu adalah salah satu sumber daya paling berharga yang kita miliki. Jika terlalu banyak dihabiskan untuk berburu diskon, merencanakan menu, atau melakukan segala sesuatu dengan cara DIY, kita bisa kehilangan kesempatan untuk fokus pada hal-hal penting lainnya.

Entah itu waktu bersama keluarga, pengembangan karier, atau sekadar beristirahat, komitmen waktu yang dibutuhkan untuk hidup hemat dapat menimbulkan rasa tidak seimbang.

Bahkan, dalam beberapa kasus, usaha menghemat waktu justru bisa menurunkan kualitas hidup. Misalnya, jika terus-menerus keliling mencari harga termurah untuk kebutuhan sehari-hari, kita bisa merasa terlalu lelah atau stres hingga akhirnya tidak bisa menikmati waktu luang.

Bahkan sesuatu yang diperoleh dengan murah atau gratis pun kadang tetap bisa “mahal” pada akhirnya. Energi yang tercurah hanya demi menghemat sedikit uang mungkin lebih baik digunakan untuk hal lain, seperti merawat diri atau membangun hubungan yang berarti.

5. Tekanan Sosial

Hidup hemat bisa menimbulkan ketegangan dalam pergaulan, terutama jika gaya hidup tersebut bertentangan dengan kebiasaan belanja teman atau keluarga.

Kamu mungkin sering menolak ajakan makan malam, liburan, atau kegiatan akhir pekan karena tidak sesuai dengan anggaran. Lama-kelamaan, hal ini dapat menimbulkan rasa terasing atau bahkan kesal.

Sebagai contoh, ketika kamu menolak membeli tiket konser karena dianggap “terlalu mahal,” sementara teman-teman lain pergi dan bersenang-senang, Anda bisa merasa tertinggal.

Situasi ini dapat menimbulkan FOMO (fear of missing out), di mana keinginan untuk berhemat justru menutupi kebahagiaan dari kebersamaan dengan orang lain.

Selain itu, sikap hemat juga bisa memunculkan percakapan canggung atau bahkan penilaian dari orang lain. Kamu mungkin merasa sungkan saat menjelaskan alasan tidak membeli hadiah untuk seseorang, atau mengapa selalu membawa bekal sendiri ke kantor.

Dalam beberapa kasus, kondisi ini bisa menciptakan rasa keterasingan sosial, seolah-olah kamu tidak sepenuhnya cocok dengan lingkungan pertemanan.

Namun, memiliki teman yang sejalan serta mengadopsi JOMO (joy of missing out) dapat membantu membuat hidup hemat terasa lebih nyaman dijalani.

6. Hidup Hemat Bisa Menutupi Masalah yang Lebih Dalam

Terkadang, sikap hemat dijadikan cara untuk menutupi persoalan yang lebih mendasar, seperti rasa takut terhadap ketidakpastian finansial atau kebutuhan untuk selalu merasa mengendalikan keadaan.

Menghemat uang memang penting, tetapi obsesi berlebihan terhadap frugalitas bisa menjadi tanda adanya kecemasan atau hubungan yang kurang sehat dengan uang.

Jika kamu terus-menerus merasa khawatir akan pengeluaran berlebih, ada baiknya menelusuri akar dari ketakutan tersebut.

Alih-alih hanya memangkas biaya, akan lebih bermanfaat jika mencoba menghadapi faktor psikologis yang sebenarnya mendorong perilaku hemat tersebut.

Hal ini bisa meliputi membangun kepercayaan diri dalam mengambil keputusan finansial, atau mencari bantuan profesional untuk mengatasi kecemasan terkait uang.

Dengan menyelesaikan masalah inti, kamu bisa melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang lebih seimbang.

Keterikatan yang tidak sehat pada uang justru bisa berujung pada perilaku menimbun kekayaan, di mana kamu merasa sulit untuk berbagi atau menikmatinya sendiri.

7. Risiko Terlalu Mengimbangi

Dalam beberapa kasus, upaya hidup hemat justru bisa mendorong seseorang untuk berlebihan di sisi lain.

Kamu mungkin menekan pengeluaran sehari-hari dengan ketat, tetapi kemudian menghabiskan banyak uang untuk pembelian besar atau memanjakan diri dengan pengalaman mewah sesekali.

Pendekatan serba hitam-putih ini dapat menimbulkan ketidakstabilan finansial sekaligus gejolak emosional.

Bisa jadi kamu merasa terbatasi selama berbulan-bulan, lalu akhirnya melampiaskannya dengan belanja besar-besaran demi “membalas” pengorbanan sebelumnya.

Siklus antara pengekangan dan pelampiasan ini dapat membentuk hubungan yang tidak sehat dengan uang, sehingga sulit menemukan keseimbangan dan kepuasan jangka panjang.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 21 Sep 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 22 Sep 2025