apple
Jumat, 12 Juli 2024 14:02 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menjelaskan bahwa biang kerok mahalnya obat di Indonesia dibanding negara tetangga ternyata disebabkan karena utilisasi industri farmasi masih rendah.
Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reni Yanita secara langsung menyebutkan bahwa utilisasi industri farmasi ini dibentuk oleh tinggi rendahnya permintaan yang masuk.
“Kalau harga hubungannya ke utilisasi, kalau utilisasinya baru 50 persen, akan jual lebih mahal lagi, itu utilisasi itu kan yang bentuk kan demand,” kata Reni di Kompleks Parlemen, Jakarta dikutip Rabu, 10 Juli 2024.
Reni mencontohkan, jika kapasitas mesin industri farmasi di posisi 100% lalu industri memproduksi sebanyak 80% namun laku di pasaran hanya 50% maka produksi selanjutnya akan mengikuti pelakunya pasar yaitu 50%. Sementara untuk biaya dan energi yang dikeluarkan masih sama dan tak berkurang menjadi beban tersendiri.
Untuk penguatan struktur industri bahan baku obat (BBO), Kemenperin berfokus memproduksi bahan dasar, bahan intermediate, dan bahan aktif obat yang masih diimpor seperti sintesis parasetamol dari nitrobenzena baik melalui p-Aminofenol (PAF) maupun p-nitro chloro benzene(PNCB) melalui kerja sama Pertamina dan Kimia Farma.
Kementerian Perindustrian telah mendorong melalui kampanye penggunaan produk dalam negeri salah satu tujuannya untuk membuat harga produk dan proses lokal dapat lebih terjangkau.
Faktor lainnya adalah karena ketergantungan bahan baku hingga 90% melalui impor. Hal ini terbukti dalam data kementerian Perindustrian bahwa tren importasi bahan baku obat atau BBO yang terus meningkat 5 tahun terakhir.
Untuk tahun 2018 volume impor BBO Indonesia mencapai 27.304 ton, 2019 sedikit menurun di angka 27.050 ton namun kembali naik di 2020 sebesar 29.429 ton 2021 kembali naik di angka 34.770 Ton dan puncaknya di 2022 dengan nilai 35.890 ton sementara di 2023 kembali penurun di angka 26.523 ton.
Jika dilihat dari sisi nilai sepanjang 2018 impor BBO di angka US$332 juta lalu turun di tahun 2019 menjadi US$294 juta naik lagi di 2020 menjadi US$312 juta kembali naik 2021 sebesar US$443 juta lalu di Tahun 2022 US$509 juta dan kembali merosot ke angka US$356 di tahun 2023.
Reni menyoroti khususnya tren importasi BBO di Tahun 2022 secara keseluruhan mencapai 35.890 ton dengan nilai US$509 juta. Adapun tiga negara asal impor di 2022 adalah dari Cina 45%, India 27% dan Amerika Serikat 8%.
Sementara dari sisi penambahan investasi baru industri farmasi juga mengalami kenaikan di 2022 hingga 2023. Di mana PMDN di angka Rp4.282 miliar lalu PMA Rp1.114 miliar. Sedangkan 2023 melonjak PMDN di angka Rp4.881 dan PMA Rp1.526 miliar.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian selama pandemi COVID-19 disebut membawa pengaruh besar terhadap industri farmasi nasional hal ini dapat dilihat dari lonjakan pertumbuhan sebesar 21,77% pada tahun 2020. Nilai pertumbuhan industri Farmasi mulai stabil pada 2022 dan 2023 seiring dengan berakhirnya dengan pandemi.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja industri farmasi 3 tahun terakhir mengalami peningkatan di mana 2021 tercatat sebanyak 40.235 tenaga kerja lalu di Tahun 2022 ada 57.881 pekerja dan di 2023 kembali naik di angka 59.698 pekerja.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 11 Jul 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 12 Jul 2024
Bagikan