Mengungkap 9 Fakta Menarik Pulau Bungin, Pulau ‘Terpadat’ di Dunia

Kamis, 06 Juni 2024 14:34 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

9 Fakta Unik Pulau Bungin: Pulau 'Terpadat' Dunia di NTB
9 Fakta Unik Pulau Bungin: Pulau 'Terpadat' Dunia di NTB (jadesta.kemenparekraf.go.id)

JAKARTA – Pulau Bungin adalah pulau yang terletak di Kecamatan Alas, berlokasi di lepas Laut Bali. Daratan pulau ini secara administratif merupakan salah satu desa di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pulau Bungin juga memiliki julukan sebagai pulau terpadat di dunia karena nyaris tidak ada lahan kosong. Seluruh daratannya dipenuhi oleh rumah-rumah penduduk.

Merujuk data cpps.ugm.ac.id, dikutip Senin, 27 Mei 2024, kepadatan penduduk membuat Pulau Bungin tidak memiliki garis pantai, maupun lahan hijau sejauh mata memandang, karena semua bagian pesisir pulau telah dibangun menjadi tempat tinggal.

Pulau ini memiliki luas sekitar 8,5 hektare, dengan lebih dari 5.000 penduduk menetap di pulau ini menurut data BPS 2014. Mayoritas dari penduduk pulau ini adalah Suku Bajo dari Sulawesi Selatan, yang telah tinggal di Bungin selama lebih dari 200 tahun.

Nuansa perkampungan padat penduduk dengan rumah-rumah panggung saling berhimpit satu sama lain menghiasi seluruh daratan di pulau ini.

Di pulau ini, nuansa perkampungan padat penduduk terlihat dari rumah-rumah panggung yang saling berhimpit satu sama lain, mengisi seluruh daratannya. Mengenai Pulau Bungin, berikut fakta menarik seputar pulau tersebut.

Fakta Menarik Pulau Bungin

Berikut beberapa fakta menarik pulau tersebut, antara lain sebagai berikut:

Mayoritas Dihuni Suku Bajo dari Sulawesi

Salah satu pulau terpadat di dunia yang dimaksud ini adalah Pulau Bungin, yang terletak di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, NTB. Menurut artikel Dinas Pariwisata NTB yang diterbitkan pada Maret 2022, pulau tersebut memiliki luas 8,5 hektar dan dihuni oleh sekitar 5.000 penduduk.

Meskipun berada di Nusa Tenggara Barat (NTB), mayoritas penduduk Pulau Bungin adalah Suku Bajo dari Sulawesi Selatan, yang telah tinggal di sana sejak 200 tahun yang lalu. Suku Bajo ini membangun rumah sesuai dengan tradisi turun-temurun mereka.

Dampaknya, pertumbuhan penduduk di pulau ini sangat pesat, beberapa warga bahkan memilih hidup satu atap yang bisa diisi oleh 3-4 kepala keluarga sekaligus.

Hidup Berdempetan

Keterbatasan luas wilayah Pulau Bungin menyebabkan masyarakatnya hidup dalam berdempetan. Mereka tinggal berdesak-desakan, bahkan atap rumah mereka hampir saling bersentuhan.

Dilansir dari indonesiabaik.id, penduduk Bungin memiliki ikatan yang kuat dengan pulau tempat mereka tinggal, sehingga jarang ada orang yang merantau, yang menyebabkan pertumbuhan penduduk terus meningkat setiap tahunnya.

Rumah dengan Pondasi Terumbu Karang

Di Pulau Bungin, masyarakat tidak menggunakan batu atau tanah sebagai dasar pondasi bangunan rumah mereka. Sebaliknya, mereka menggunakan tumpukan terumbu karang yang sudah mati sebagai pondasi.

Dilansir dari indonesiabaik.id, sebagian besar penduduk di pulau ini adalah Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi Selatan. Awalnya, Pulau Bungin memiliki luas hanya sekitar 4x10 meter, namun semakin luas karena tradisi masyarakat Bungin yang menimbun laut dengan batu-batu dan tanah untuk tempat tinggal.

Suku Bajo memiliki budaya yang unik dan berpengaruh terhadap pola permukiman di pulau tersebut. Budaya tersebut adalah bila seorang pemuda hendak menikah, diharuskan mengumpulkan karang mati yang diambil dari dasar laut sebagai tempat untuk membangun rumah.

Proses pengambilan karang mati ini sudah berlangsung lama dan turun temurun. Sehingga menyebabkan luas daratan Pulau Bungin dan penduduknya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini juga mengakibatkan pola pemukiman di salah satu pulau terpadat di dunia menjadi tidak teratur.

Tradisi unik ini merupakan warisan nenek moyang yang telah berlangsung sejak zaman dulu hingga saat ini. Wisatawan yang beruntung dapat melihat proses pembangunan rumah di desa ini, yang sangat unik dan berbeda dari yang lain.

Ekonomi Pulau Bungin

Pulau Bungin memiliki potensi ekonomi yang melimpah serta siap dikembangkan. Dari penelitian para ahli, sekitar perairan Bungin sangat potensi menghasilkan indukan tiram mutiara terbaik di dunia.

Dilansir dari jurnal yang berjudul “Pola Permukiman Suku Bajo di Pulau Bungin Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat,” ekonomi maritim di Pulau Bungin merupakan aset besar bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat desa. Mayoritas penduduknya adalah nelayan, dan mereka juga melakukan budidaya ikan menggunakan jaring apung, keramba, serta berbagai usaha terkait pemasaran hasil laut.

Mayoritas Bekerja sebagai Nelayan

Penduduk desa Bungin dikenal sebagai pelaut yang ulung. Hampir 80% dari penduduknya bekerja sebagai nelayan, sehingga setiap rumah memiliki perahu motor pribadi. Perahu-perahu ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan, kerang mutiara atau lobster di laut.

Selain itu, anak-anak di Pulau Bungin sangat terampil dalam menjelajahi lautan dan berburu ikan. Mereka biasanya membantu orang tua mereka dengan menyelam untuk mencari ikan, yang kemudian bisa dijual atau dikonsumsi sendiri.

Kelezatan Kuliner Seafood

Meskipun tidak memiliki garis pantai, Pulau Bungin terkenal dengan wisata kulinernya yang lezat dan menggugah selera. Di sini, tersedia berbagai hidangan seafood dengan cita rasa gurih, asin, dan pedas yang bisa dinikmati.

Pulau ini juga memiliki restoran apung yang menyajikan beragam hidangan laut. Para wisatawan bahkan dapat memilih ikan segar langsung dari kolam penangkaran untuk dimasak di tempat.

Ikan-ikan tersebut kemudian akan diproses sesuai dengan keinginan, apakah itu dibakar, digoreng, atau dimasak dengan bumbu tradisional yang kaya rempah. Selain ikan, terdapat berbagai hidangan laut lain yang bisa dinikmati, seperti cumi-cumi, udang, dan kepiting.

Setiap hidangan disiapkan dengan bumbu khas yang membuat setiap suapannya penuh dengan cita rasa. Harganya pun sangat ramah di kantong.

Ritual Toyah

Ritual Toyah adalah sebuah upacara adat khas bagi masyarakat Suku Bajo di Pulau Bungin. Upacara ini dilakukan untuk memperkenalkan bayi yang baru lahir kepada dunia bahari.

Ritual ini diyakini dapat membantu anak-anak di Pulau Bungin untuk menjadi pandai menyelam dan mahir dalam berburu hasil laut di masa mendatang. Oleh karena itu, tidak heran jika sebagian besar penduduk desa ini bekerja sebagai nelayan atau memiliki usaha keramba ikan.

Keindahan Alam yang Memesona

Meski tidak memiliki pantai dan pasir putih yang luas, pesona matahari terbenam dari pulau ini juga sangat memukau seperti halnya pantai-pantai lainnya. Pulau Bungin memiliki dua dermaga di bagian selatan dan baratnya, yang juga berfungsi sebagai akses utama menuju pulau tersebut.

Penduduk pulau juga terkenal dengan keramahannya dalam menyambut wisatawan. Oleh karena itu, wisatawan tidak perlu ragu untuk mengunjungi pulau ini jika berada di Pulau Sumbawa.

Jika berangkat dari Lombok, turis bisa pergi ke Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur menuju Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa. Perjalanan ini membutuhkan waktu sekitar 6-8 jam untuk mencapai Pulau Bungin. Akses lainnya dapat dilakukan melalui jalan darat dari Pulau Sumbawa.

Hewan Ternak Tidak Makan Rumput

Berbeda dengan hewan ternak biasanya yang memakan rumput atau dedaunan hijau, hewan ternak di pulau ini malah memakan sampah, plastik, kertas atau sisa-sisa makanan manusia.

Hewan ternak seperti kambing, telah beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan alam Pulau Bungin yang cukup ekstrem dengan kepadatan penghuninya dan sangat minimnya tanaman yang dapat tumbuh di pulau ini.

Keadaan ini disebabkan oleh hampir tidak adanya lahan hijau di pulau ini. Selain itu, dataran pulau terbentuk dari tumpukan karang dan pasir sehingga pertumbuhan rumput sangat sulit.

Sampah, yang merupakan salah satu permasalahan utama di Pulau Bungin, ternyata menjadi makanan yang cukup menarik bagi kambing-kambing di sana. Saat mengunjungi Pulau Bungin, seringkali kita bisa melihat kambing-kambing memakan kertas, bungkus rokok, atau bahkan plastik, hal ini sudah bukan lagi sesuatu yang asing.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 03 Jun 2024 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 06 Jun 2024