media sosial
Jumat, 19 September 2025 16:45 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Beberapa minggu sebelum aksi protes besar pecah di Nepal, media sosial diramaikan dengan beredarnya foto-foto yang diduga menampilkan gaya hidup glamor anak-anak dari keluarga elit politik.
Menurut laporan The New York Times, unggahan itu diberi tagar #nepokids, istilah yang merujuk pada generasi muda yang dianggap menikmati privilese berkat koneksi keluarga mereka.
Banyak warga Nepal menilai hal tersebut sebagai sikap tidak sensitif terhadap situasi rakyat, apalagi masih ada satu dari empat penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
Gambar-gambar tersebut telah menjadi simbol korupsi yang menurut banyak orang Nepal telah memperlebar kesenjangan dan memperkaya para pejabat beserta keluarganya.
Kemunculan rasa marah inilah yang turut memicu gelombang protes, yang awalnya dipicu oleh larangan penggunaan media sosial, namun sebenarnya didorong oleh akumulasi kekecewaan bertahun-tahun terhadap penguasa.
Sebagai bagian dari tren media sosial #nepokids di Nepal, para pengguna mengunggah video dan postingan di TikTok maupun X yang disebut-sebut menampilkan anak-anak pejabat politik Nepal sedang berlibur mewah dan mengenakan pakaian mahal, lalu disandingkan dengan cuplikan yang menunjukkan kesulitan hidup masyarakat biasa.
Di media sosial, istilah “flex” merujuk pada tindakan memamerkan atau menyombongkan pencapaian, kepemilikan, keterampilan, maupun kualitas diri.
Flexing adalah tindakan memamerkan hal-hal yang berkaitan dengan uang, seperti jumlah kekayaan atau barang-barang mahal, misalnya pakaian dari merek desainer ternama.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions pada tahun 1899.
Veblen, seorang ekonom sekaligus sosiolog asal Amerika, berpendapat ada hubungan langsung antara kepemilikan harta dengan status sosial seseorang dalam masyarakat.
Ia menggunakan istilah “conspicuous consumption” untuk menggambarkan bagaimana barang-barang dipamerkan sebagai simbol status dan kedudukan sosial.
Flexing merupakan cara seseorang memamerkan kesuksesan dan kekayaannya kepada orang lain, umumnya lewat media sosial.
Dengan membagikan foto, video, atau cerita tentang barang mewah, properti, maupun pencapaian finansial, mereka berusaha menampilkan keberhasilan dan menimbulkan kesan sukses di hadapan audiens.
Selain itu, flexing sering dilakukan untuk memperoleh pengakuan, rasa hormat, atau pujian dari orang lain, sehingga membangun citra diri sebagai individu yang berhasil dan makmur di mata masyarakat.
Dilansir dari shortform, menurut Morgan Housel, penulis The Psychology of Money, memamerkan kekayaan lewat simbol status tidak akan membuat orang benar-benar menghormati Anda.
Orang mungkin kagum pada mobil sport atau jam tangan Rolex Anda, tetapi yang mereka kagumi sebenarnya hanyalah barangnya, bukan diri Anda.
Dilansir dari Later, di media sosial, flex bisa muncul dalam berbagai bentuk:
1. Kepemilikan Material: Pengguna membagikan foto atau video yang menampilkan barang mewah, belanjaan mahal, pakaian desainer, atau gadget kelas atas untuk menunjukkan kekayaan maupun akses terhadap produk eksklusif.
2. Pencapaian dan Pengalaman: Seseorang dapat mengunggah cerita atau foto tentang prestasi mereka, seperti penghargaan, kesuksesan akademis, pencapaian karier, pengalaman traveling, atau momen penting, guna menekankan keberhasilan dan menampilkan diri sebagai sosok sukses atau berpengaruh.
3. Keterampilan dan Bakat: Flexing juga bisa berupa unjuk kemampuan luar biasa dalam bidang tertentu, misalnya olahraga, seni, musik, memasak, atau keahlian lain. Hal ini menjadi cara untuk menunjukkan keahlian sekaligus mendapatkan pengakuan.
Perlu dipahami, flexing memiliki makna positif maupun negatif. Di satu sisi bisa menjadi sumber inspirasi, motivasi, atau bentuk perayaan atas pencapaian.
Namun, jika dilakukan berlebihan atau dengan nada menyombongkan, hal ini dapat dianggap sombong, tidak tulus, atau sekadar mencari perhatian.
Orang yang terus-menerus mencari validasi dan perhatian di media sosial bisa berakhir merasa tidak bahagia serta kehilangan fokus pada hal-hal yang sebenarnya lebih penting dalam hidup.
Akibatnya, mereka berisiko mengalami rasa tidak puas terhadap diri sendiri maupun kehidupan yang dijalani.
Unggahan yang memamerkan kekayaan bisa memicu rasa iri sosial pada pengguna media sosial lainnya. Kondisi ini berpotensi menimbulkan perasaan tertekan serta menciptakan lingkungan yang kurang sehat di dunia maya.
Selain itu, kebiasaan pamer dan flexing bisa mendorong pola hidup konsumtif, di mana seseorang berbelanja hanya demi gengsi dan gaya hidup.
Perilaku ini bisa mengganggu kondisi keuangan karena selalu mengikuti keinginan untuk mempertahankan kebiasaan pamer tersebut. Seolah-olah setiap hari harus ada sesuatu yang baru untuk ditunjukkan.
Bahkan, kebiasaan ini juga bisa memperparah masalah kesehatan mental seperti depresi maupun kecemasan. Orang yang sering menampilkan pencapaiannya di dunia maya bisa merasa terbebani untuk terus menjaga citra positif, sehingga berisiko meningkatkan stres dan rasa cemas.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 13 Sep 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 19 Sep 2025
Bagikan