Bisnis
Jumat, 25 Oktober 2024 12:35 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Pepatah "sudah jatuh tertimpa tangga" terkesan sangat tepat untuk menggambarkan situasi PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Perusahaan tekstil ini resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang, sementara sahamnya telah disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia sejak tahun 2021.
Pernyataan pailit terhadap Sritex didasarkan pada putusan PN Semarang dalam perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Pembacaan putusan tersebut berlangsung pada Senin, 21 Oktober 2024, di PN Niaga Semarang.
Nah, PT Indo Bharat Rayon yang merupakan pemohon, mengajukan pembatalan perdamaian karena Sritex dan anak perusahaannya, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, dianggap lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran.
"Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk., PT Sinar Pantja Djaja, PT Biratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya," tulis pernyataan dalam putusan terbaru dikutip pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Tidak hanya itu, PT Indo Bharat Rayon juga meminta PN Niaga membatalkan putusan terkait Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi) pada putusan nomor 12/Pdt.Sus PKPU/2021.PN.Niaga.Smg, yang dikeluarkan pada 25 Januari 2022.
Sehubungan dengan hal tersebut, PN Niaga Semarang menegaskan bahwa termohon telah lalai memenuhi kewajiban pembayaran sesuai dengan putusan Homologasi tersebut. Lantas, berapa jumlah utang Sritex?
Berdasarkan laporan keuangan 2023, Sritex memiliki total liabilitas sebesar US$1,6 miliar, yang terdiri dari liabilitas jangka pendek sebesar US$113 juta dan liabilitas jangka panjang sebesar US$1,49 miliar.
Bila dirinci, liabilitas jangka pendek Sritex termasuk utang jangka pendek sebesar US$11 juta, utang usaha jangka pendek sebesar US$31,86 juta, dan surat utang jangka menengah sebesar US$5 juta.
Adapun liabilitas jangka panjang didominasi oleh utang bank sebesar US$858,04 juta, obligasi neto sebesar US$371,86 juta, dan utang usaha jangka panjang kepada pihak berelasi sebesar US$92,51 juta.
Manajemen Sritex menyampaikan bahwa SRIL telah mencatat rugi neto sebesar US$174,84 juta pada 2023. Pada saat yang sama, SRIL melaporkan defisit dan defisiensi modal masing-masing sebesar US$1,16 miliar dan US$954,82 juta.
"Kondisi tersebut mengindikasikan adanya ketidakpastian material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya," demikian tertulis dalam laporan keuangan.
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Sritex Group menyatakan kekhawatirannya bahwa situasi ini dapat berdampak pada 15.000 karyawan yang berisiko terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Walaupun produksi masih berlangsung dan ada upaya restrukturisasi, keputusan pengadilan yang menyatakan kebangkrutan berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar.
Penurunan performa Sritex ini tergambar dari penjualan bersih pada 2023 yang hanya mencapai US$325,08 juta (sekitar Rp5,01 triliun), turun 38,02% dari tahun sebelumnya yang mencapai US$524,56 juta.
Bila dirinci, penjualan ekspor tercatat sebesar US$158,66 juta, sementara penjualan lokal mencapai US$166,41 juta. Kedua segmen ini mengalami penurunan sepanjang 2023. Hal tersebut mendorong rugi bersih membengkak signifikan dari periode tahun sebelumnya.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Alvin Pasza Bagaskara pada 24 Oct 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 25 Okt 2024
Bagikan