Selasa, 26 Mei 2020 14:35 WIB
Penulis:donalbaba
jabarjuara.co, Bandung - Penyakit vitiligo atau corob dalam bahasa Sunda terbanyak terjadi di usia kurang dari 20 tahun dan anak - anak. Berdasarkan data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), besarannya 50 persen di usia kurang 20 tahun dam 60 persen anak - anak.
Menurut Kepala Divisi Dermatologi Anak Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung Reiva Farah Dwiyana, apabila vitiligo muncul pertama kali pada masa kanak-kanak disebabkan karena faktor genetik yang berhubungan dengan autoimun. Penyebabnya kata Reiva, karena 20 - 30 persen pasien autoimun memiliki gen yang saling terkait dan akan memengaruhi timbulnya penyakit autoimun lain, baik pada pasien itu sendiri maupun pada keturunannya.
"Apakah penyakit autoimun itu ? Penyakit autoimun termasuk penyakit yang mulai popular di masyarakat awam dengan merebaknya penyakit lupus. Penyakit autoimun terjadi karena kesalahan sistem kekebalan tubuh (imunologi) dalam mengenal bagian tubuhnya sendiri dengan menganggap sebagai musuh dan akhirnya diserang hingga timbul penyakit," ujar Reiva dalam keterangan resminya ditulis Bandung, Selasa, 26 Mei 2020.
Reiva menerangkan pada vitiligo, yang dianggap musuh adalah melanosit. Penyakit autoimun yang sering terjadi bersamaan dengan vitiligo ialah hipotiroid, diabetes melitus tipe 1, dan lainnya yang sejenis.
Selain karena autoimun lanjut Reiva, vitiligo juga bisa disebabkan karena zat kimia, stres-oksidatif dan gangguan neurokimia. Penyakit ini terjadi 0,5 - 2 persen pada populasi di seluruh dunia, yang secara angka cukup tinggi.
"Vitiligo merupakan kelainan pigmentasi kulit yaitu hilangnya sel penghasil pigmen (melanosit) karena berbagai hal yang menyebabkan tidak terbentuknya zat warna (pigmen) sehingga kulit pasien vitiligo akan tampak putih seperti kapur atau susu, yang disebut dengan depigmentasi," kata Reiva.
Vitiligo merupakan penyakit kekurangan pigmen yang didapat (acquired depigmentation disorder) yang terbanyak di antara penyakit hipopigmentasi lainnya. Berbeda dengan albino yang bersifat diturunkan (inheridited), vitiligo tidak diturunkan secara langsung, namun ada faktor genetik yang memengaruhinya.
Penyakit ini tidak menular, tidak berbahaya, tidak menimbulkan kematian, dan kaitannya dengan penyakit sistemik non-autoimun masih diselidiki. Namun, karena bentuk kelainan kulit yang khas dan mencolok mata, terutama bila di daerah yang terekspos misalnya wajah dan tangan, serta perjalanan penyakit yang cenderung cepat dan progresif, maka vitiligo acapkali membuat resah penderita dan keluarganya.
"Hal ini menimbulkan kekhawatiran, perasaan minder, malu, menarik diri dari lingkungan, yang berujung dengan penurunan kualitas hidup," terang Reiva.
Saat ini pengobatan vitiligo yang cukup efektif ialah dengan obat yang dioles, fototerapi, serta obat yang diminum sebagai tambahan. Semuanya memberikan hasil yang bervariasi pada tiap-tiap individu. Berdasarkan data yang dimiliki oleh RSHS Bandung, kunjungan pasien vitiligo untuk anak mencapai 100 orang dan dewasa 300 orang per tahun.
Bagikan