Perjalanan Nilai Tukar Rupiah yang Melemah dari Era Soekarno hingga Soeharto

Redaksi Daerah - Selasa, 14 Oktober 2025 13:37 WIB
Menolak Lupa: Ini Sejarah Anjloknya Nilai Rupiah dari Orde Lama hingga Krismon 98

JAKARTA - Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS tercatat mengalami penurunan signifikan sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga mencapai titik terlemahnya pada akhir era Presiden Soeharto.

Pelemahan paling drastis terjadi saat Krisis Moneter 1998, ketika Rupiah terperosok ke level terendah sepanjang sejarah. Seperti dilansir TrenAsia dari berbagai sumber pada Selasa, 7 Oktober 2025, berikut rangkuman sejarah pelemahan Rupiah dari masa ke masa.

Era Soekarno (Orde Lama)

Berdasarkan catatan Bank Indonesia, pada masa Presiden Soekarno, nilai Rupiah masih sangat kuat secara nominal yakni sekitar Rp 1 per USD, karena sistem ekonomi Indonesia saat itu masih tertutup dan belum mengikuti mekanisme pasar bebas.

Namun, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak terkendali menyebabkan hiperinflasi mencapai 635% pada tahun 1966. Hal ini terjadi akibat kebijakan pencetakan uang besar-besaran untuk membiayai defisit anggaran.

Kala itu Soekarno juga nekat membiayai proyek-proyek besar seperti pembangunan infrastruktur serta pembiayaan politik luar negeri tanpa didukung peningkatan produksi riil. Akibatnya, daya beli masyarakat merosot tajam dan kepercayaan terhadap Rupiah menurun drastis.

Era Soeharto (Awal Orde Baru)

Ketika Presiden Soeharto mulai berkuasa pada 1967, pemerintah melakukan reformasi ekonomi besar-besaran untuk memulihkan kondisi pasca-hiperinflasi.

Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS pada tahun 1971 tercatat di kisaran Rp 415 per USD. Soeharto bersama tim ekonomi Orde Baru berhasil menurunkan inflasi dari 635% menjadi 112% melalui kebijakan pengetatan moneter, pengendalian harga, dan kerja sama internasional.

Indonesia juga kembali bergabung dengan IMF dan memanfaatkan booming minyak dunia untuk menambah cadangan devisa serta memperkuat stabilitas Rupiah.

Baca juga : BRI Peduli Berdayakan Eks Pekerja Migran Lombok Lewat Pelatihan Kerajinan Bambu dan Wirausaha

Era Devaluasi 1978 (Kebijakan KNOP 15)

Pada tanggal 15 November 1978, pemerintah Soeharto melakukan devaluasi Rupiah sebesar 33,6%, dari Rp 415 menjadi Rp 625 per USD. Langkah ini dikenal dengan Kebijakan 15 November (KNOP 15) dan bertujuan menjaga daya saing ekspor Indonesia yang mulai melemah akibat penguatan nilai tukar.

Sejak saat itu, sistem nilai tukar berubah dari tetap (fixed) menjadi mengambang terkendali (managed float). Pemerintah tetap mengatur pergerakan kurs, tetapi memberi ruang bagi mekanisme pasar untuk menyesuaikan nilai Rupiah.Era Pra-Krisis (1980–1996)

Menjelang akhir Orde Baru, sebelum krisis melanda, nilai Rupiah relatif stabil di kisaran Rp 2.000-Rp 2.500 per USD hingga pertengahan 1997. Stabilitas ini ditopang oleh kontrol ketat pemerintah terhadap kurs, suku bunga, dan arus modal.

Namun, stabilitas tersebut bersifat semu, banyak perusahaan swasta menumpuk utang dalam mata uang asing, sementara sektor keuangan kurang transparan. Ketika tekanan ekonomi eksternal meningkat, fondasi ekonomi Indonesia ternyata tidak cukup kuat untuk menahannya.

Era Krisis Moneter 1997–1998

Puncak pelemahan terjadi saat Krisis Moneter Asia 1997–1998. Krisis yang berawal dari Thailand dengan jatuhnya Baht segera merembet ke Indonesia. Rupiah kehilangan nilai hingga Rp 16.800 per USD pada Juni 1998, menjadikannya titik terendah dalam sejarah.

Pemerintah terpaksa meninggalkan sistem kurs terkendali dan beralih ke sistem kurs mengambang bebas (free float). Dampaknya luar biasa, ribuan perusahaan bangkrut, perbankan kolaps, inflasi melonjak, dan pengangguran meningkat drastis.

Krisis ini juga mengguncang stabilitas politik nasional, memicu demonstrasi besar-besaran, dan akhirnya berujung pada mundurnya Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.

Baca juga : Harga Bitcoin Mencapai Rekor Tertinggi, Apakah ini Berkelanjutan?

Faktor-Faktor Penyebab Anjloknya Rupiah

Beberapa faktor utama menyebabkan pelemahan Rupiah dari masa ke masa. Pertama, kebijakan moneter dan sistem nilai tukar. Di era Soekarno, kebijakan pencetakan uang tanpa kontrol menimbulkan hiperinflasi.

Di era Soeharto, meski sempat stabil, perubahan sistem nilai tukar dari tetap menjadi mengambang terkendali dan akhirnya mengambang bebas membuat Rupiah lebih rentan terhadap gejolak pasar global.

Kedua, krisis eksternal dan ketergantungan ekonomi. Indonesia sangat bergantung pada ekspor minyak pada dekade 1970–1980-an. Ketika harga minyak jatuh di pertengahan 1980-an, pendapatan negara menurun drastis dan ekonomi melambat.

Krisis global, terutama Krisis Moneter Asia 1998, memperparah pelemahan Rupiah karena tekanan besar dari capital outflow atau pelarian modal asing.

Ketiga, kondisi politik dan kepercayaan investor. Ketidakstabilan politik, lemahnya transparansi ekonomi, dan tingginya ketergantungan pada pinjaman luar negeri membuat investor kehilangan kepercayaan. Ketika modal asing keluar, permintaan terhadap Dolar AS melonjak, menekan nilai Rupiah lebih dalam.

Secara keseluruhan, perjalanan nilai tukar Rupiah dari era Soekarno hingga Soeharto menunjukkan bagaimana kebijakan ekonomi, stabilitas politik, dan kondisi global saling memengaruhi kekuatan mata uang nasional.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 13 Oct 2025

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 14 Okt 2025

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS