Alih Fungsi Lahan di Kawasan Bandung Utara Memprihatinkan

donalbaba - Jumat, 03 Januari 2020 18:03 WIB
lambang Walhi Jawa Barat undefined

jabarjuara.co, Bandung - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyatakan alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan. Maraknya pembangunan sarana komersil turut berkontribusi terhadap menurunnya daya dukung dan daya tampung kawasan tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong, Kawasan Bandung Utara (KBU ) meliputi wilayah Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kota Bandung kini sudah terbangun 22 persen dari total luas keseluruhan. Sedangkan untuk kawasan lindung KBU yang sudah alih fungsi atau terbangun sebesar 16 persen.

“Menurut catatan WALHI Jawa Barat selama tahun 2019, dari total luas KBU sebesar 41.315 Ha kawasan yang sudah terbangun fisik seluas 11.765 Ha. Kawasan lindung KBU seluas 16.352 Ha yang pada dasarnya tidak diperuntukan menjadi kawasan terbangun, faktanya telah terbangun seluas 3.155 Ha,” kata Meiki di Kantor Walhi Jawa Barat, Bandung, ditulis Jumat, 3 Desember 2019.

Meiki mengatakan alih fungsi lahan yang terjadi di KBU dominan terjadi karena aktivitas pembangunan sarana komersil, wisata, dan pertanian. Namun yang layak menjadi sorotan adalah maraknya pembangunan sarana komersil, seperti hotel apartemen, usaha wisata dan restoran, perumahan elit, dan villa.

Pembangunan tersebut sebut Meiki, secara langsung menurunkan kondisi lingkungan hidup dan menambah laju air larian yang masuk ke badan sungai saat musim hujan tiba. Atas hal tersebut, Walhi Jawa Barat mendesak diberlakukannya moratorium izin – izin baru di Kawasan Bandung Utara.

“Salah satu syarat suatu kegiatan usaha adalah dipenuhinya izin lingkungan. Beberapa tahapan yang harus dipenuhi pelaku usaha adalah terpenuhinya amdal, kelayakan lingkungan dan izin mendirikan bangunan (IMB). Selama tahun 2019 Walhi Jawa Barat telah membongkar dua kasus proyek pembangunan tanpa dokumen Amdal dan IMB di Kota Bandung,” ujar Meiki.

Meiki menjelaskan kedua proyek tersebut adalah proyek pembangunan Universitas Muhammadiyah Bandung dan Menara Wu. Untuk proyek menara Wu, fatalnya terjadi dan dibangun di Kawasan Bandung Utara.

Pengawasan dan penegakan hukum terhadap kedua proyek tersebut sangat lemah dilakukan oleh dinas terkait. Tidak adanya ketegasan dari pemerintah daerah akan membuat masa depan penaatan hukum lingkungan semakin suram.

“Kasus lain yang menarik perhatian adalah dampak negatif dari pembangunan kereta cepat dari Jakarta ke Bandung. Selama tahun 2019 terjadi empat kali kasus,” tutur Meiki.

Kasus yang pertama, pembuangan air limbah konstruksi terowongan Walini ke sungai Cileuleuy. Kedua, penambangan batu sungai ilegal untuk dijadikan bahan konstruksi proyek.

Tak hanya itu, proyek infrastruktur kereta api cepat tersebut menggunakan cara peledakan pembangunan terowongan di Gunung Bohong, Cimahi yang merusak rumah sebagian warga sekitar proyek. Kasus terakhir yang ditimbulkan oleh proyek kereta api cepat, yaitu meledaknya pipa minyak bawah tanah akibat pemancangan tiang pancang konstruksi.

“Banyaknya kerusakan lingkungan berdasarkan pengaduan laporan warga maupun di luar pengaduan sepanjang tahun 2019 yang masuk ditangani oleh Walhi Jawa Barat, maka dapat diambil kesimpulan berdampak menurunnya kualitas air sungai, laut, dan udara di Jawa Barat. Pencemaran air, sungai, dan laut terjadi di sektor pertambangan dan industri,” sebut Meiki.

Adanya alih fungsi lahan di kawasan lindung dan di luar peruntukannya, menurunkan kualitas tanah dan mengurangi tutupan lahan hijau. Dampak lainnya adalah adanya kebijakan tata ruang yang masih cenderung mengedepankan pembangunan fisik dibanding lingkungan hidup berbasis DAS.

Kerusakan lingkungan yang ada, akibat dari implementasi amdal yang sangat buruk dan lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah. Lemahnya penegakan hukum ucap Meiki, terhadap pelaku usaha yang melanggar dan tidak taat terhadap regulasi menyokong pula dalam kerusakan lingkungan di Jawa Barat.

“Korporasi masih menjadi pelaku utama penyebab menurunnya kualitas lingkungan hidup di Jawa Barat. Sikap pemerintah daerah yang cenderung permisif terhadap korporasi pelaku pencemar dan pelanggar hukum. Sehingga indeks kualitas lingkungan hidup di Jawa Barat masih dipastikan akan tetap rendah dan tidak menunjukan perbaikan dari tahun 2018,” ucap Meiki.

Bagikan

RELATED NEWS