Buzzer di Indonesia: Profesi Kontroversial yang Jadi Peluang Bisnis
JAKARTA – Baru-baru ini, lewat postingan Instagramnya @jeromepolin, Jerome Polin mengungkap bahwa ia sempat mendapat tawaran fantastis senilai Rp150 juta untuk menjadi buzzer di tengah situasi yang sedang ramai diperbincangkan.
“Nih, aku spill. Uang rakyat dipake buat bayar buzzer per orang Rp150 juta. 1 post kalau dipakai buat naikin gaji guru per orang Rp10 juta, udah bisa bikin 15 guru hidup sejahtera selama sebulan. Jangan lengah, kita kawal terus. Kita berhak atas transparansi pemakaian uang pajak kita!! Sudah saatnya kita aware,” tulisnya di Instagram.
“Dear agency dan KOL, aku mohon untuk kali ini, jangan korbanin rakyat buat kepentingan kalian sendiri. Semua lagi susah, kita berjuang bersama, yah? Tolong,” lanjutnya.
Usai diungkap Jerome Polin, komika Marshel Widianto langsung menghapus postingannya. Sebelumnya, Marshel membagikan sebuah video di akun Instagram @marshel_widianto berjudul ‘AJAKAN DAMAI INDONESIA’ pada Jumat, 29 Agustus 2025.
Video tersebut menarasikan pesan perdamaian dari pemerintah, DPR, Brimob, ojek online, dan masyarakat. Namun, tak lama setelah diposting, video itu segera dihapus.
Alih-alih menyejukkan, video itu justru mendapat kritik tajam dari warganet yang menilai unggahan tersebut kurang peka terhadap situasi saat ini.
Dia disebut-sebut mendapat bayaran Rp150 juta untuk mengunggah konten tersebut. Setelah menuai kritik tajam, video itu kemudian dihapus dari akun Instagram pribadinya.
Di era digital saat ini, di mana teknologi semakin mendominasi dan menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, penting untuk memahami bagaimana perkembangan ini memengaruhi dinamika sosial di Indonesia, termasuk praktik penggunaan buzzer.
Kemajuan internet dan perangkat digital memungkinkan komunikasi menjangkau lebih luas, melampaui batas geografis.
Dilansir dari Cyber Peace, phone farm adalah pengaturan atau sistem yang memanfaatkan banyak ponsel secara bersamaan. Praktik ini biasanya digunakan untuk tujuan menipu, melakukan tindakan berulang dalam jumlah besar dengan cepat, atau mencapai target tertentu.
Contohnya termasuk memalsukan popularitas dengan meningkatkan jumlah tayangan, likes, komentar, atau jumlah pengikut.
Phone farm juga dapat menciptakan ilusi aktivitas yang sah melalui tindakan seperti unduhan aplikasi otomatis, menonton iklan, klik, registrasi, pemasangan aplikasi, dan keterlibatan dalam aplikasi
Dilansir dari Apps Flyer, phone farmer yang canggih menggunakan berbagai taktik untuk menyembunyikan aktivitas mereka, termasuk memanfaatkan alamat IP baru, menggunakan berbagai jenis perangkat, serta mengaktifkan Limit Ad Tracking atau memanfaatkan DeviceID Reset Fraud (mengatur ulang DeviceID setiap kali aplikasi dipasang).
Jika dilakukan dalam skala besar, jenis penipuan ini dikenal dengan istilah DeviceID Reset Marathons.
Meski phone farm sering digambarkan sebagai praktik penipuan yang berasal dari Asia, penelitian menunjukkan phone farm beroperasi di seluruh dunia, dan pengiklan di berbagai negara turut terdampak oleh penipuan ini.
Sementara, dilansir dari akun Instagram @NewsFlix phone farming adalah praktik memanfaatkan banyak smartphone untuk menjalankan akun media sosial, mengotomatisasi engagement, hingga menyebarkan narasi tertentu. Biasanya yang melakukan ini adalah para buzzer.
Dulu, buzzer hanya membutuhkan beberapa akun dan sedikit influence. Kini, mereka bisa mengelola puluhan akun sekaligus lewat perangkat yang tertata rapi di rak, semuanya terhubung dan aktif secara bersamaan. Dengan cara ini, satu orang bisa menghasilkan ribuan komentar, likes, bahkan trending topik.
Tujuannya tersebut beragam, mulai dari promosi produk, kampanye politik, hingga membentuk opini publik. Dengan phone farming, satu suara bisa diubah menjadi gema.
Lantas, apakah ini termasuk manipulasi, atau strategi digital yang cerdas? Hal tersebut tergantung dari perspektif yang digunakan untuk menilainya.
Perangkat ini awalnya dipakai untuk pengembangan kripto, tetapi sekarang beralih fungsi menjadi sarana untuk meningkatkan aktivitas di media sosial.
Di era digital ini layak seperti pasar malam atau tempat wahanaterkenal, riuh dan meriah, tapi juga rawan penipuan bagi yang kurang waspada. Kecanggihan teknologi seharusnya menjadi dorongan untuk lebih bijak dalam bertindak, bukan sebaliknya.
Dilansir dari Antara, Antropolog University of Amsterdam Ward Berenschot menyatakan, fenomena buzzer di dunia maya kini telah berkembang menjadi sebuah industri di Indonesia.
Ia menjelaskan, penelitian dilakukan dengan mewawancarai para pelaku pekerjaan tersebut, mengertimekanisme kerjanya, serta dari mana uang yang digunakan untuk membiayainya
Mereka diberi tugas oleh elit politik dan pebisnis untuk menyebarkan narasi tertentu, terutama guna mempengaruhi atau menekan opini publik.
Berenschot menjelaskan industri buzzer di Indonesia berjalan melalui jaringan informal namun terorganisir, melibatkan koordinator, influencer, pembuat konten, serta ribuan akun media sosial. Ia menyebut struktur ini sebagai bentuk baru operasi politik digital yang sangat fleksibel.
“Pasukan siber melemahkan perdebatan publik di Indonesia. Mereka menyebarkan informasi buruk dan berhasil menarik simpati publik terhadap isu-isu yang tidak penting,” paparnya.
Industri buzzer bekerja layaknya agensi, menawarkan layanan campaign digital, like otomatis, unggahan konten pro, serta komentar yang terlihat alami meski sebenarnya dikoordinasi. Buzzer kini bukan hanya untuk endorsing produk, tetapi juga berperan sebagai alat pengaruh politik yang disewakan.
Fenomena ini berbahaya karena bisa menimbulkan misinformasi atau disinformasi, memperburuk polarisasi sosial, bahkan merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Dari perspektif keamanan nasional, aktivitas buzzer semacam ini termasuk dalam ranah psywar atau perang informasi digital.
Berdasarkan laporan Berenschot tahun 2023, Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri buzzer paling aktif di dunia. Selain digunakan dalam kontestasi politik, praktik ini juga telah berkembang menjadi bisnis yang menguntungkan bagi para pelakunya.
Aktivitas buzzer di Indonesia tidak hanya sebatas mendukung kandidat atau partai politik dalam pemilu. Menurutnya, buzzer juga dimanfaatkan berbagai kelompok kepentingan untuk membentuk opini publik terkait isu sosial, ekonomi, bahkan keagamaan.
Menurut Berenschot, jaringan buzzer di Indonesia bersifat sementara dan spesifik untuk setiap kampanye, tidak selalu terikat pada struktur permanen, tapi mampu beroperasi efektif sebagai “pasukan online” yang menyebarkan konten, mengelola akun palsu, dan mendorong tagar menjadi trending.
Fenomena ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, industri buzzer menciptakan peluang kerja di sektor digital. Di sisi lain, praktik ini berpotensi merusak kualitas demokrasi, karena ruang diskusi publik menjadi semakin terbatas dan didominasi oleh narasi yang dikendalikan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 01 Sep 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 02 Sep 2025