Dampak UU Cipta Kerja: Penutupan Pabrik dan Pengangguran Tertinggi di Asia Tenggara
JAKARTA – Ketika Undang-Undang (UU) Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu, pemerintah memberikan berbagai janji salah satunya adalah aturan tersebut akan menciptakan lapangan kerja. Tetapi setelah tiga tahun UU tersebut disahkan, hasilnya jauh panggang dari api.
Terekam jelas diingatan masyarakat bagaimana saat itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang-ulang menegaskan manfaat undang-undang tersebut bagi perekonomian Indonesia. Jokowi menyebut UU Cipta Kerja atau yang dikenal juga sebagai Omnibus Law sebagai solusi aturan ketenagakerjaan yang mampu menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan buruh di tengah dinamika perekonomian global.
"Pemerintah berkeyakinan melalui UU Cipta kerja ini, jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupannya dan juga penghidupan bagi keluarga mereka," terang Jokowi selama konferensi pers, dikutip kanal YouTube Sekretariat Presiden yang tayang hari Jumat, 9 Oktober 2020.
Pada saat pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja, terjadi gelombang protes besar-besaran di berbagai daerah karena dianggap merugikan pekerja dan merampas hak-hak mereka.
Banyak pihak, terutama serikat pekerja dan aktivis buruh, menilai undang-undang tersebut akan melemahkan perlindungan tenaga kerja, memperburuk kondisi kerja, dan memberikan keuntungan lebih besar bagi pengusaha.
- Rekomendasi Mobil Sedan Bekas Tahun 2000-an di Bawah Rp100 Juta, Cocok Untuk Keluarga Baru
- Meski Karyanya Laku Keras, 7 Pencipta Lagu Ini Justru Hidup Miskin
- Generasi Z di Dunia Kerja, Mengapa Mereka Sangat Penting?
Namun, Presiden Jokowi merespons aksi penolakan tersebut dengan menyatakan bahwa protes ini sebagian besar disebabkan oleh disinformasi terkait isi undang-undang dan hoaks yang beredar luas di media sosial.
"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta kerja pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan hoax di media sosial," tambah Jokowi.
Publik juga masih ingat, dalam pidatonya di Sidang tahunan MPR, Jokowi memuji UU Cipta Kerja sebagai pencapaian hukum penting, karena berhasil merevisi 88 undang-undang dan 1.200 pasal yang dianggap tumpang tindih dan menghambat investasi serta pertumbuhan ekonomi.
Menurut Jokowi, revisi besar-besaran ini dapat mendorong kelancaran dunia usaha, meningkatkan investasi, serta membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.
Akademisi UI dan UGM Bela Omnibuslaw
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, Agus Wahyudi, menguraikan keunggulan UU Cipta Kerja dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Menurutnya UU Ciptakerja menciptakan peluang kerja yang lebih luas melalui ekspansi usaha ekonomi, pemberdayaan UMKM, serta memastikan keberlanjutan lingkungan yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
"UU Cipta Kerja adalah upaya untuk menciptakan kemitraan yang setara berdasarkan Pancasila," kata Agus. terang Agus, Dilansir siaran pers sekretariat kabinet yang terbit Rabu, 1 November 2023.
Sementara itu, Prof. Bambang Shergi Laksmono dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa UU Cipta Kerja perlu didukung dengan penguatan sistem pelayanan ketenagakerjaan dan sistem jaminan sosial agar dapat berjalan lebih efektif.
"Indonesia tengah mengalami transformasi. Spirit dari UU CK untuk memungkinkan pasar bekerja maksimal," tegas Bambang.
UU Cipta Kerja Dinilai Gagal
Hingga kini UU Cipta Kerja dinilai belum berhasil memenuhi janji utamanya untuk menciptakan lapangan kerja. Meski dinyatakan sah secara hukum, implementasi UU Cipta Kerja masih menghadapi tantangan besar. Banyak kalanga menyebut langkah-langkah pemerintah sejauh ini belum cukup efektif untuk memaksimalkan potensi undang-undang tersebut.
Selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo, tercatat 8,5 juta orang terserap ke sektor formal, namun pada periode kedua, angka ini menurun drastis menjadi hanya 2 juta orang. Selain itu, UU Cipta Kerja juga dituding berkontribusi terhadap maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menunjukkanantara Januari hingga Mei 2024, sekitar 20 hingga 30 pabrik berhenti beroperasi dan memberhentikan sekitar 10.800 pekerja.
Menurut laporan World Economic Outlook yang diterbitkan Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan April 2024, tingkat pengangguran di Indonesia tercatat sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara, menurut data BPS mencapai 7,2 juta orang pada bulan Februari 2024. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut belum memberikan dampak signifikan.
- Kehilangan Salah Satu AirPods Anda? Jangan Panik, Ini Cara Mengatasinya
- Tidak hanya Tupperware, Inilah Beberapa Brand Terkenal yang Akhirnya Bangkrut
- Waspada! 6 Juta Data NPWP Bocor, Ini Dampaknya Bagi Masyarakat
"Dari angkatan kerja, tidak semua terserap di pasar tenaga kerja, sehingga terdapat pengangguran 7,20 juta orang," terang Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, saat konferensi pers, di Jakarta, Senin, 6 Mei 2024 yang lalu.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 24 Sep 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 26 Sep 2024