Fenomena Langka: 5 Agustus 2025 Tercatat sebagai Hari Paling Singkat

Redaksi Daerah - Selasa, 05 Agustus 2025 10:30 WIB
5 Agustus 2025 Disebut Jadi Hari terpendek, Ini Alasannya

JAKARTA – Fenomena langka terjadi pada hari ini, Selasa, 5 Agustus 2025, ketika kecepatan rotasi Bumi meningkat sedikit dibandingkan biasanya, menyebabkan durasi satu hari menjadi sedikit lebih singkat dari 24 jam.

Menurut laporan dari Wral News, sepanjang musim panas tahun ini, Bumi mengalami peningkatan kecepatan rotasi, yang membuat panjang hari berkurang meskipun hanya beberapa milidetik, namun perubahan ini mulai dianggap signifikan.

Pada bulan Juli, tercatat ada tiga hari yang lebih pendek dari biasanya, yaitu tanggal 9, 10, dan 22 Juli. Hari terpendek sejauh ini terjadi pada 10 Juli, yang berlangsung 1,36 milidetik lebih singkat dari 24 jam, berdasarkan data dari International Earth Rotation and Reference Systems Service dan US Naval Observatory yang dikumpulkan oleh timeanddate.com.

Hari Selasa, 5 Agustus, diperkirakan akan lebih pendek sekitar 1,25 milidetik dibandingkan 24 jam penuh. Dalam lima tahun terakhir, hari terpendek terjadi pada 30 Juni 2022, dengan durasi 1,59 milidetik lebih singkat dari 24 jam.

Panjang satu hari dihitung berdasarkan waktu yang dibutuhkan Bumi untuk melakukan satu rotasi penuh pada porosnya, rata-rata sekitar 24 jam atau 86.400 detik. Namun pada kenyataannya, waktu rotasi tersebut tidak selalu konsisten karena dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti gaya gravitasi bulan, perubahan musim di atmosfer, serta pergerakan inti cair Bumi.

Karena itu, lamanya rotasi bisa sedikit lebih cepat atau lambat dari 86.400 detik, selisih kecil dalam hitungan milidetik yang umumnya tidak berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari.

Namun, dalam jangka panjang, selisih waktu sekecil apa pun bisa memengaruhi sistem komputer, satelit, dan telekomunikasi. Itulah sebabnya perbedaan waktu sekecil apa pun dipantau dengan sangat teliti menggunakan jam atom, yang mulai digunakan sejak tahun 1955.

Beberapa ahli bahkan memperkirakan hal ini bisa menimbulkan masalah yang mirip dengan isu Y2K, yang dulu sempat dikhawatirkan akan melumpuhkan peradaban modern.

Jam atom bekerja dengan menghitung getaran atom yang ditempatkan dalam ruang hampa di dalam jam tersebut, guna mengukur waktu 24 jam dengan tingkat ketelitian yang sangat tinggi.

Waktu yang dihasilkan dari pengukuran ini disebut UTC (Coordinated Universal Time), yaitu standar waktu global yang didasarkan pada sekitar 450 jam atom di seluruh dunia. UTC menjadi acuan bagi waktu di seluruh perangkat elektronik seperti ponsel dan komputer.

Sementara, para astronom juga memantau rotasi Bumi, misalnya dengan menggunakan satelit yang mengamati posisi Bumi terhadap bintang-bintang tetap, guna mendeteksi perbedaan kecil antara waktu yang ditunjukkan jam atom dan waktu yang sebenarnya dibutuhkan Bumi untuk menyelesaikan satu putaran penuh.

Pada 5 Juli 2024, Bumi mengalami hari terpendek yang pernah tercatat sejak jam atom diperkenalkan 65 tahun lalu, dengan durasi 1,66 milidetik lebih pendek dari 24 jam.

“Kita telah mengalami kecenderungan hari-hari yang sedikit lebih cepat sejak tahun 1972,” kata Duncan Agnew, profesor emeritus geofisika dari Scripps Institution of Oceanography dan peneliti di University of California, San Diego.

“Namun, selalu ada fluktuasi. Keadaannya mirip seperti pergerakan pasar saham, ada tren jangka panjang, tetapi juga ada naik-turun jangka pendek.”

Pada tahun 1972, setelah beberapa dekade Bumi berputar sedikit lebih lambat, keterlambatan rotasinya dibandingkan waktu atom membuat International Earth Rotation and Reference Systems Service memutuskan untuk menambahkan satu “detik kabisat” (leap second) ke UTC.

Ini mirip dengan konsep tahun kabisat, di mana satu hari tambahan ditambahkan ke bulan Februari setiap empat tahun sekali untuk menyesuaikan kalender Gregorian dengan waktu orbit Bumi mengelilingi Matahari.

Sejak saat itu, total 27 detik kabisat telah ditambahkan ke UTC. Namun, karena rotasi Bumi semakin cepat, penambahan detik kabisat menjadi lebih jarang. Selama tahun 1970-an saja, ada sembilan detik kabisat yang ditambahkan, sedangkan sejak tahun 2016, tidak ada lagi detik kabisat baru yang ditambahkan.

Pada tahun 2022, Konferensi Umum tentang Ukuran dan Timbangan (CGPM) memutuskan untuk menghentikan penggunaan detik kabisat paling lambat pada tahun 2035. Keputusan ini berarti kemungkinan besar kita tidak akan melihat lagi penambahan detik kabisat pada jam resmi.

Namun, jika rotasi Bumi terus meningkat kecepatannya selama beberapa tahun ke depan, menurut Agnew, bisa saja suatu saat nanti satu detik justru perlu dikurangi dari UTC. “Selama ini belum pernah ada detik kabisat negatif,” ujarnya, “tetapi peluang terjadinya sebelum tahun 2035 diperkirakan sekitar 40%.”

Apa yang Menyebabkan Bumi Berputar Lebih Cepat?

Menurut Agnew, perubahan rotasi Bumi dalam jangka waktu pendek terutama disebabkan oleh pengaruh bulan dan pasang surut air laut. Ketika bulan berada di atas garis khatulistiwa, rotasi Bumi melambat, namun ketika berada di lintang yang lebih tinggi atau lebih rendah, rotasi menjadi sedikit lebih cepat.

Efek ini diperkuat oleh fakta selama musim panas, Bumi secara alami berputar lebih cepat. Hal ini terjadi karena atmosfer melambat akibat perubahan musim, seperti perpindahan arus jet ke utara atau selatan.

Karena hukum fisika mengharuskan momentum sudut total antara Bumi dan atmosfernya tetap konstan, perlambatan atmosfer menyebabkan Bumi berputar lebih cepat sebagai kompensasinya. Selain itu, selama 50 tahun terakhir, inti cair Bumi juga mengalami perlambatan, yang membuat bagian padat Bumi di sekitarnya berputar lebih cepat.

Dengan memahami gabungan berbagai faktor ini, para ilmuwan bisa memprediksi apakah suatu hari akan menjadi lebih pendek dari biasanya.

“Fluktuasi ini memiliki korelasi jangka pendek, artinya jika Bumi berputar lebih cepat pada satu hari, maka kemungkinan besar akan berputar lebih cepat juga keesokan harinya,” jelas Judah Levine, seorang fisikawan dari National Institute of Standards and Technology di divisi waktu dan frekuensi.

“Namun, korelasi itu akan menghilang seiring berjalannya waktu. Semakin panjang rentang waktunya, semakin sulit diprediksi. Karena itu, lembaga seperti International Earth Rotation and Reference Systems Service tidak membuat prediksi lebih dari satu tahun ke depan.”

Levine juga menekankan meskipun satu hari yang lebih pendek tidak menimbulkan dampak berarti, tren hari-hari yang semakin pendek bisa meningkatkan kemungkinan diberlakukannya detik kabisat negatif.

“Saat sistem detik kabisat diperkenalkan tahun 1972, hampir tidak ada yang membayangkan bahwa kita akan membutuhkan detik kabisat negatif,” katanya.

“Itu hanya dicantumkan sebagai bagian dari standar untuk melengkapi sistemnya. Saat itu, semua orang menganggap hanya detik kabisat positif yang akan dibutuhkan. Tapi sekarang, dengan hari-hari yang terus memendek, kemungkinan detik kabisat negatif benar-benar mulai muncul.”

Kemungkinan diterapkannya detik kabisat negatif menimbulkan kekhawatiran karena bahkan detik kabisat positif, yang telah digunakan selama lebih dari 50 tahun, masih menimbulkan masalah.

“Masih ada sistem yang menerapkannya secara keliru, menambahkan pada waktu yang salah, atau bahkan dengan jumlah yang salah,” jelas Levine. “Dan itu baru detik kabisat positif, yang sudah sering dilakukan. Kekhawatiran terhadap detik kabisat negatif jauh lebih besar, karena belum pernah dicoba sebelumnya.”

Karena banyak teknologi penting bergantung pada sistem waktu yang presisi, seperti komunikasi, transaksi keuangan, jaringan listrik, dan satelit GPS, kemungkinan munculnya detik kabisat negatif dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan besar.

Levine membandingkan situasi ini dengan masalah Y2K, yaitu kekhawatiran global saat pergantian tahun 1999 ke 2000, ketika banyak orang takut sistem komputer akan gagal mengelola perubahan tahun dari ‘99’ ke ‘00.’

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 05 Aug 2025

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 05 Agt 2025

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS