Fenomena Panic Buying di Tanah Air, Barang Apa Saja yang Diburu?
JAKARTA – Fenomena panic buying, yaitu perilaku memborong barang secara berlebihan karena kekhawatiran akan kelangkaan atau lonjakan harga, bukanlah sesuatu yang baru terjadi di Indonesia. Tindakan ini tak hanya menyebabkan kelangkaan barang, tetapi juga mengganggu rantai distribusi, mendorong spekulasi harga, dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Contohnya terjadi pada awal April 2025, saat harga emas dunia melonjak tajam dipicu ketegangan geopolitik serta pelemahan nilai tukar rupiah. Masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan menengah ke atas, ramai-ramai membeli logam mulia. Hal ini terlihat dari antrean panjang di gerai Butik Emas Logam Mulia Antam di berbagai kota.
Imbasnya, stok emas cetakan kecil (0,5–5 gram) ludes hanya dalam beberapa jam. Banyak yang membeli emas batangan Antam sebagai bentuk perlindungan nilai kekayaan. Bahkan, beberapa platform e-commerce sempat kewalahan menghadapi lonjakan permintaan terhadap emas digital.
- BRI Ajak UMKM Binaan Tampil di Pameran Internasional FHA-Food & Beverage 2025 Singapura
- 6 Cara Detoks dan Menurunkan Berat Badan Usai Lebaran
- Mengenal Reciprocal Tariffs, Jurus Dagang Trump yang Bikin Heboh Dunia
Peristiwa Panic Buying di Indonesia
1. Stok Masker hingga Obat Akibat COVID-19 (2020)
Panic buying terbesar dalam beberapa tahun terakhir terjadi pada awal 2020, saat pandemi COVID-19 pertama kali diumumkan masuk ke Tanah Air. Dalam hitungan jam setelah konferensi pers pemerintah, warga langsung menyerbu supermarket dan apotek.
Barang yang diborong di antaranya masker, hand sanitizer, alkohol, beras, mi instan, tisu toilet, hingga vitamin. Dampaknya harga masker melonjak hingga 10 kali lipat, hand sanitizer dan disinfektan menjadi barang langka. Bahkan beberapa toko membatasi jumlah pembelian per orang.
2. Minyak Goreng Langka (2021–2022)
Panic buying kembali terjadi pada akhir 2021 hingga awal 2022, kali ini dipicu oleh kelangkaan minyak goreng, salah satu kebutuhan dapur utama masyarakat. Penyebabnya adalah ketidakseimbangan antara harga CPO dunia yang naik dan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) pemerintah, serta permainan spekulan.
Hal ini berdampak pada antrean panjang di minimarket, bahkan sejak subuh. Maraknya aksi “borong lalu jual kembali” dengan harga tinggi di platform daring. Sejumlah ritel melakukan pembatasan pembelian 1-2 liter per orang.
3. Panic Buying BBM
Panic buying BBM kerap terjadi saat isu kenaikan harga BBM bersubsidi mencuat. SPBU diserbu masyarakat dengan kendaraan pribadi dan jeriken dalam waktu singkat.
Contohnya terjadi pada Agustus 2022 dan September 2023, menjelang pengumuman kenaikan harga Pertalite dan Solar. Dampak Kemacetan di sekitar SPBU, SPBU kehabisan stok dan penimbunan oleh oknum dan penjualan ilegal.
4. Panic Buying Obat dan Vitamin (Gelombang Delta COVID-19, 2021)
Gelombang kedua COVID-19 di Indonesia yang dipicu varian Delta membuat masyarakat panik, terutama setelah rumah sakit penuh dan angka kematian meningkat drastis.
Barang yang diborong diantaranya paracetamol, vitamin C dan D, obat flu, oximeter, antibiotik seperti azithromycin. Dampaknya terjadi lonjakan harga obat hingga ratusan persen. Langkanya pasokan vitamin dan suplemen di apotek. Banyak warga kesulitan mendapat obat untuk isolasi mandiri.
5. Panic Buying Beras
Panic buying beras sering terjadi menjelang Ramadan atau ketika pemerintah mengumumkan rencana impor bahan pokok. Ketakutan akan kenaikan harga membuat warga borong stok meski tidak ada krisis nyata.
Contohnya pada awal 2023 ketika pemerintah menyebutkan rencana impor beras akibat cuaca ekstrem yang mengganggu produksi.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 15 Apr 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 16 Apr 2025