Job Hugging, Tren Baru Anak Muda yang Ogah Resign Walau Tak Betah
JAKARTA – Masa “job hopping” kini sudah berlalu, digantikan dengan tren baru yang disebut “job hugging.” Laporan terbaru dari Korn Ferry, konsultan organisasi global, menunjukkan bahwa karyawan sekarang cenderung bertahan lebih lama dan tidak terburu-buru pindah ke pekerjaan lain.
Sebaliknya, mereka cenderung bertahan di posisi mereka saat ini untuk jangka waktu yang lebih lama. “Dalam jumlah yang semakin besar, banyak karyawan kini memperlihatkan fenomena yang disebut secara informal sebagai ‘job hugging,’ yaitu sikap mempertahankan pekerjaan mereka sekuat mungkin,” tulis laporan tersebut.
Beberapa tahun lalu, tren yang marak justru “job hopping,” yakni berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain demi mengejar peluang yang lebih baik, terutama di kalangan pekerja muda yang ingin mempercepat karier mereka. Namun kini, yang terjadi justru sebaliknya.
Apa Itu Job Hugging?
Saat ini kita memasuki era job hugging, yaitu tren di mana karyawan memilih bertahan di pekerjaannya sekarang, meskipun merasa tidak puas atau tidak terlibat, karena dorongan rasa takut dan kebutuhan akan stabilitas di tengah ketidakpastian pasar kerja.
Menurut laporan Juli dari Eagle Hill Consulting yang berbasis di Arlington, Virginia, sebagian besar karyawan berencana bertahan di posisi mereka saat ini setidaknya untuk enam bulan ke depan. Menariknya, generasi Z tercatat memiliki niat paling tinggi untuk tidak berpindah kerja.
Dilansir dari Fast Company, data juga menunjukkan bahwa market opportunity indicator, yakni ukuran persepsi karyawan terhadap peluang kerja di luar sana, turun ke titik terendah sejak indikator ini pertama kali dibuat. Rasa pesimis terhadap peluang kerja ini bukan tanpa alasan.
Laporan terbaru dari Challenger, Gray & Christmas, sebuah perusahaan global yang bergerak di bidang penempatan ulang dan pelatihan karier, menemukan hingga akhir Juli 2025, perusahaan-perusahaan di AS telah mengumumkan lebih dari 800.000 pemutusan kerja. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak masa pandemi global tahun 2020.
Pertumbuhan lapangan kerja juga melambat. Berdasarkan laporan BLS (Bureau of Labor Statistics) pada Juli, perekonomian AS hanya menciptakan 73.000 pekerjaan baru bulan itu, turun dari rata-rata 111.000 per bulan di awal tahun.
Bahkan, perkiraan jumlah penciptaan kerja untuk Mei dan Juni pun direvisi turun secara signifikan. Banyak perusahaan kini menahan proses perekrutan karena inflasi yang meningkat dan tarif perdagangan yang diberlakukan Presiden Trump, yang terus mengguncang pasar.
Selain faktor ekonomi, perkembangan pesat teknologi AI juga mengubah struktur organisasi dan bahkan mengancam beberapa jenis pekerjaan. Korn Ferry menilai semua faktor ini turut mendorong semakin maraknya fenomena job hugging.
“Ketidakstabilan pasar adalah salah satu alasan utama mengapa kandidat, terutama karyawan berprestasi, enggan pindah,” kata Stacy DeCesaro, konsultan manajemen di Korn Ferry.
“Biasanya, para top performer hanya akan meninggalkan pekerjaannya jika mereka sangat tidak puas, mendapat tawaran kenaikan gaji yang signifikan, atau merasa khawatir dengan kondisi perusahaan, mulai dari keberlangsungan bisnis, kepemimpinan, hingga budaya kerja.”
Bagi perekrut, laporan Korn Ferry mencatat, tren ini akan membuat proses mencari talenta baru semakin menantang. Namun, di sisi lain, hal ini juga bisa menjadi peluang bagi organisasi untuk lebih berinvestasi pada karyawan terbaiknya serta mendorong generasi muda agar lebih betah dan menetap lebih lama di perusahaan.
Dilansir dari Ebony, job hugging sendiri memiliki sisi positif sekaligus negatif. Bagi karyawan, bertahan di pekerjaan yang sudah dikenal bisa memberi rasa aman dan kepuasan jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menghambat perkembangan karier, keterampilan, dan peningkatan penghasilan.
Di tengah pasar kerja yang bergejolak, banyak pekerja memilih tetap bertahan karena takut kehilangan pekerjaan atau menghadapi ketidakpastian. Rasa familiar terhadap pekerjaan saat ini dianggap lebih aman, sementara berpindah ke pekerjaan baru terasa penuh risiko.
Dari sudut pandang organisasi, job hugging juga bisa menimbulkan tantangan. Perusahaan berisiko menghadapi sikap puas diri di dalam tim, yang pada akhirnya menghambat lahirnya inovasi dan gagasan baru.
Seiring dengan terus berubahnya pasar kerja, dampak dari job hugging semakin terasa nyata. Meski memberikan rasa aman dan kenyamanan di tengah ketidakpastian, fenomena ini pada akhirnya bisa menghambat pertumbuhan profesional sekaligus membatasi inovasi di dalam perusahaan.
Oleh karena itu, membangun budaya kerja yang menekankan pada kemampuan beradaptasi dan keterbukaan terhadap perubahan menjadi hal penting, baik bagi karyawan yang ingin mengembangkan karier maupun bagi perusahaan yang berupaya terus berkembang.
Ke depan, komunikasi yang transparan serta peluang pengembangan keterampilan dapat menjadi jembatan antara kebutuhan akan keamanan dan dorongan untuk bertumbuh, sehingga individu maupun organisasi dapat berkembang di era kerja yang baru ini.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 18 Sep 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 19 Sep 2025