Ketegangan di Laut China Selatan Kembali Naik, Begini Akar Masalahnya
JAKARTA - Ketegangan di Laut China Selatan kembali meningkat. Militer China mengumumkan bahwa mereka telah memantau sekaligus mengikuti pergerakan patroli gabungan yang dilakukan oleh Filipina pada 30–31 Oktober 2025.
Patroli tersebut dilakukan di wilayah perairan yang selama ini menjadi titik panas perebutan klaim kedaulatan dan pengaruh geopolitik di kawasan Asia. Tindakan Filipina itu segera memicu tanggapan keras dari Beijing, yang dikenal sangat peka terhadap segala bentuk aktivitas militer asing di area tersebut.
Dalam pernyataan resminya, Juru Bicara Komando Teater Selatan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), Tian Junli, menegaskan bahwa kegiatan patroli gabungan itu telah secara serius mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan.
- 5 Cara Agar Terhindar Beli Emas Palsu, Jangan Tertipu!
- 6 Cara Dapatkan Kulit Sehat dan Glowing ala Song Hye Kyo
- AgenBRILink Koperasi Merah Putih, Jembatan BRI untuk Akses Keuangan di Desa
Menurutnya, tindakan Filipina berpotensi memperburuk situasi keamanan dan mengganggu status quo yang selama beberapa tahun terakhir coba dijaga China. Respons keras ini muncul di tengah hubungan Beijing-Manila yang terus memburuk, termasuk sejumlah insiden saling senggol kapal dan penggunaan meriam air yang terjadi sejak awal tahun.
Sengketa Laut China Selatan tidak hanya melibatkan China dan Filipina. Sedikitnya enam negara memiliki klaim yang saling tumpang tindih di wilayah ini. Filipina mengklaim bagian dari Kepulauan Spratly, Vietnam juga bersikeras memiliki hak di Paracel dan Spratly, Malaysia menuntut bagian selatan wilayah tersebut, dan Brunei ikut menegaskan klaim atas sebagian zona ekonomi eksklusifnya.
Taiwan pun mengajukan klaim serupa dengan China berdasarkan alasan historis. Sementara Indonesia secara resmi tidak mengklaim pulau-pulau besar di sana, wilayah perairan di sekitar Natuna Utara kerap bersinggungan dengan klaim China.
Di luar negara-negara tersebut, Amerika Serikat juga aktif terlibat melalui operasi kebebasan navigasi, latihan militer, dan kemitraan pertahanan, sehingga membuat sengketa ini berubah menjadi arena persaingan pengaruh negara-negara besar.
Baca juga : Saham BBRI Undervalue? BRI Gas Buyback Rp3 Triliun

Mengapa Jadi Rebutan? Ini Angkanya
Laut China Selatan memiliki nilai strategis dan ekonomi yang sangat besar, sehingga wajar menjadi perebutan banyak pihak. Perairan ini dilintasi jalur perdagangan global dengan nilai sekitar US$3,5-5 triliun per tahun, menjadikannya salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia.
Kawasan ini juga diperkirakan memiliki cadangan minyak hingga 11 miliar barel dan gas sekitar 190 triliun kaki kubik. Dari sektor kelautan, sekitar 12% tangkapan ikan dunia berasal dari wilayah ini.
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan posisi strategis sebagai gerbang perdagangan internasional, Laut China Selatan menjadi “harta karun” yang diperebutkan, baik dari sudut ekonomi, keamanan, maupun geopolitik.
Akar sengketa modern berawal dari peta “nine-dash line” yang dijadikan China sebagai dasar historis klaim wilayahnya. Peta tersebut merupakan revisi dari versi awal sebelas garis yang diterbitkan pada 1947 oleh pemerintahan Kuomintang.
Sejak 1970-an, China terus memperkuat kehadirannya di kawasan. Eskalasi meningkat drastis dalam satu dekade terakhir saat China membangun pulau-pulau buatan lengkap dengan landasan pacu, radar, hanggar pesawat, dan fasilitas militer di atas sejumlah terumbu karang.
Pembangunan ini mengkhawatirkan banyak negara, karena mengubah peta kontrol kawasan dan menciptakan “fakta lapangan” yang memperkuat posisi China.
Filipina pernah membawa sengketa ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) pada 2013. Tiga tahun kemudian, pada 2016, pengadilan memutuskan bahwa banyak klaim China tidak memiliki dasar hukum menurut Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).
Namun China menolak dan menyatakan tidak terikat oleh putusan tersebut. Akibatnya, hingga kini tidak ada solusi yang disepakati bersama. Sengketa terus berlangsung dalam tiga bentuk utama, yaitu tarik-menarik diplomatik, manuver militer di lapangan, serta pertarungan pengaruh geopolitik antarnegara besar.
Baca juga : IHSG Dibayangi Rilis Data PDB dan Review MSCI, Analis Rekomendasikan 6 Saham Ini
Konflik yang berkepanjangan ini membawa dampak nyata bagi kawasan. Ketegangan militer di jalur pelayaran internasional terus meningkat dan memicu kekhawatiran akan potensi salah perhitungan yang dapat memicu insiden besar.
Negara-negara ASEAN pun berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka ingin menjaga kedaulatan wilayah, namun di sisi lain memiliki ketergantungan ekonomi yang cukup besar dengan China.
Sejumlah analis menyebut Laut China Selatan sebagai salah satu “hotspot geopolitik paling berisiko di Asia”, karena jika eskalasi semakin tajam, konflik ini berpotensi menyeret negara-negara besar ke dalam konfrontasi terbuka.
Patroli Filipina yang kembali diawasi ketat oleh China menunjukkan bahwa tensi di kawasan belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Justru, frekuensi manuver militer, pernyataan keras, dan aksi saling tuding semakin sering terjadi. Selama klaim wilayah belum menemukan titik temu, setiap pergerakan kapal dan latihan militer kemungkinan besar akan terus menjadi pemicu ketegangan baru.
Bagi negara-negara di kawasan, tantangan terbesar saat ini adalah menjaga keseimbangan antara mempertahankan kedaulatan tanpa memicu eskalasi yang bisa mengguncang stabilitas kawasan Indo-Pasifik.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 03 Nov 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 04 Nov 2025
