Konflik Tak Kunjung Usai, Begini Sejarah Perseteruan Thailand dan Kamboja

Redaksi Daerah - Jumat, 25 Juli 2025 19:14 WIB
Sulit Berakhir, Ini Sejarah Konflik Thailand-Kamboja

BANGKOK - Situasi di perbatasan Thailand-Kamboja kembali memanas menyusul bentrokan mematikan di area kuil kuno. Ketegangan ini bukan sekadar konflik militer biasa, melainkan bagian dari sengketa historis yang telah berlangsung lebih dari seratus tahun, dipengaruhi oleh warisan kolonial Prancis dan klaim budaya yang kompleks.

Konflik Thailand-Kamboja berakar pada peta kolonial tahun 1904 dan 1907 yang dibuat Prancis, penjajah Kamboja kala itu. Peta tersebut menempatkan kuil Preah Vihear, kuil abad ke-11 bergaya Khmer di wilayah Kamboja, klaim yang ditolak oleh Thailand.

Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan kuil tersebut secara sah milik Kamboja. Meski menerima keputusan itu secara resmi, sebagian kelompok nasionalis Thailand hingga kini memandang putusan tersebut tidak adil. Ketegangan meningkat drastis pada 2008, ketika Kamboja berhasil mendaftarkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Militer kedua negara beberapa kali terlibat baku tembak di sekitar situs perbatasan yang kaya sejarah itu. Puncaknya pada 2011, bentrokan intensif menewaskan 34 orang dan memaksa ribuan warga mengungsi.

Eskalasi Terkini, Mei-Juli 2025

Sejak Mei 2025, hubungan kedua negara memburuk setelah seorang tentara Kamboja tewas dalam insiden di perbatasan. Kamboja kemudian membalas dengan melarang impor berbagai produk dari Thailand, termasuk buah, sayur, listrik, dan layanan internet lintas batas.

Kedua negara meningkatkan kehadiran militer, memicu ketakutan akan konflik terbuka. Versi kedua pihak mengenai bentrokan 24 Juli 2025 saling bertentangan.

Thailand menuduh Kamboja lebih dulu melancarkan serangan dengan roket BM-21 dan artileri setelah mengirim drone pengintai pada pagi hari. Di sisi lain, Kamboja menuding tentara Thailand melanggar perjanjian dengan memasang kawat berduri di dekat kuil Ta Moan Thom, lalu menembaki pos Kamboja.

Thailand membalas dengan pengerahan jet tempur F-16, melakukan serangan udara pertama dalam konflik perbatasan ini. Serangan itu menewaskan sedikitnya 14 orang.

Kementerian Pertahanan Thailand melaporkan 12 warganya tewas, sebagian besar warga sipil, sementara korban di pihak Kamboja belum diumumkan. Infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit dan SPBU di provinsi Surin, dilaporkan rusak parah akibat tembakan artileri.

Lebih dari 40.000 warga dari 86 desa di sepanjang perbatasan dievakuasi. Perdagangan lintas batas senilai miliaran dolar terhenti, memukul ekonomi lokal yang bergantung pada pasar perbatasan.

Baca Juga : Jual-Beli Serangan Artileri dan F-16, Konflik Thailand-Kamboja Memanas

Risiko Eskalasi Perang

Perdana Menteri Thailand menyebut konflik ini "rumit" dan menyerukan penyelesaian melalui jalur hukum internasional. Sementara PM Kamboja Hun Manet menegaskan bahwa negaranya "harus membela diri dari agresi."

Pengamat menilai konflik ini berpotensi mereda, seperti insiden sebelumnya, tetapi ketiadaan pemimpin yang mampu menenangkan situasi membuat risiko eskalasi tetap tinggi.

ASEAN, yang dipimpin oleh Malaysia, mendesak kedua negara segera menghentikan kekerasan. PM Malaysia Anwar Ibrahim dilaporkan langsung menghubungi Bangkok dan Phnom Penh untuk memulai mediasi.

China, mitra ekonomi penting kedua negara, mengimbau warganya menjauhi daerah konflik. Sementara itu, Kamboja mengajukan pertemuan darurat di Dewan Keamanan PBB, menuding Thailand melakukan "agresi serius."

Pertempuran terkonsentrasi di zona perbatasan dekat kuil Preah Vihear, Ta Kwai, dan Ta Moan Thom. Meski belum ada larangan perjalanan resmi, wisatawan diimbau waspada. Beberapa negara, termasuk China, sudah memperingatkan warganya untuk menjauhi daerah perbatasan.

Konflik ini menunjukkan pola berulang akibat demarkasi 817 km perbatasan yang belum jelas, diperparah ranjau sisa perang yang kerap memicu insiden.

Thailand menolak yurisdiksi ICJ untuk sengketa di luar kasus Preah Vihear, sementara upaya ASEAN sering terhambat prinsip non-interferensi.

Langkah-langkah penting yang dibutuhkan mencakup pemetaan ulang bersama berdasarkan dokumen sejarah netral, pembentukan zona demiliterisasi di area kuil sengketa, dan pembentukan kerangka hukum ASEAN yang mengikat untuk penyelesaian konflik teritorial.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 25 Jul 2025

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 25 Jul 2025

Editor: Redaksi Daerah
Bagikan

RELATED NEWS