Nasib Tragis Gajah Sumatra: Rumahnya Hilang, Perannya untuk Manusia Tak Pernah Padam

Redaksi Daerah - Kamis, 11 Desember 2025 10:12 WIB
Nasib Tragis Gajah Sumatra: Habitat Dirusak tapi Masih Bantu Manusia

JAKARTA - Banjir yang melanda daerah Pidie Jaya, Aceh meninggalkan derita yang tak kunjung usai. Warga tak hanya harus kehilangan saudara dan keluarga, rumah, dan barang berharga, tapi juga harus membersihkan puing-puing dan lumpur. Hal itu membuat empat “pekerja berat” tak biasa yaitu gajah Sumatra bernama Abu, Mido, Ajis, dan Noni dikerahkan sebagai penyelamat warga.

Keempat gajah Sumatra jinak ini menjadi bagian penting dari operasi darurat, membantu membersihkan kayu gelondongan dan material besar yang menyumbat jalan dan permukiman, peran yang bahkan tak mampu dilakukan alat berat di lokasi-lokasi ekstrem.

Dengan belalai yang kuat dan tubuh yang mampu menembus rerimbun sisa longsor, para gajah ini membuka akses menuju desa-desa terisolasi. Aparat menyebut mereka juga siap membantu distribusi logistik dan proses pencarian korban jika dibutuhkan.

BACA JUGA:

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, gajah Sumatra juga dikerahkan membantu operasi penyelamatan setelah bencana besar melanda Aceh kala Tsunami 2004. Namun, ironi mendalam tersembunyi di balik aksi heroik mereka.

Hewan yang menjadi penyelamat manusia ini justru sedang menghadapi ancaman kepunahan paling serius dalam sejarah keberadaannya.

Populasi Gajah Sumatra Terjun Bebas

Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) kini berada dalam status Kritis (Critically Endangered) menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN). Populasinya terus merosot dalam empat dekade terakhir akibat kehilangan habitat dan konflik manusia-satwa.

Pada 1980-an, populasi gajah Sumatra diperkirakan masih berada di kisaran 2.800 hingga 5.000 individu, periode ketika hutan-hutan Sumatra belum mengalami deforestasi besar-besaran dan ekspansi perkebunan masih terbatas.

Namun tiga dekade berikutnya membawa perubahan drastis. Memasuki 2017, jumlah gajah menyusut hingga 1.694–2.038 individu, menandakan penurunan hampir 50 persen dari populasi awal.

Kondisi semakin memburuk pada 2022, ketika populasi gajah liar di seluruh Sumatra hanya tersisa sekitar 924–1.359 individu, dan menariknya, 42% dari jumlah tersebut bertahan di Provinsi Aceh.

Hingga memasuki 2025, populasi diperkirakan berada di angka sekitar 1.100 individu, yang kini tersebar di 22 lanskap terfragmentasi, sehingga meningkatkan risiko isolasi dan inbreeding.

Aceh tetap menjadi wilayah terpenting bagi kelangsungan spesies ini. Pada 2025, daerah tersebut menyimpan sekitar 500–600 individu, menjadikannya benteng terakhir populasi gajah Sumatra yang masih bertahan di alam liar.

Jumlah tersebut bukan hanya rendah, tetapi menunjukkan fragmentasi populasi yang semakin parah. Banyak kelompok kini terpisah di kantong-kantong hutan kecil yang tidak saling terhubung, meningkatkan risiko inbreeding, konflik, hingga kematian.

Terjepit dari Segala Arah

Hilangnya habitat menjadi penyebab utama krisis populasi ini. Laju pembukaan lahan, terutama untuk perkebunan kelapa sawit, pertanian intensif, dan pembangunan jalan, memaksa gajah keluar dari rumah alaminya.

Hilangnya habitat menjadi penyebab utama krisis populasi gajah Sumatra. Pembukaan hutan yang masif untuk perkebunan kelapa sawit, pertanian intensif, dan pembangunan jalan memaksa gajah keluar dari rumah alaminya.

Hutan-hutan yang dahulu menjadi jalur jelajah puluhan kilometer kini terpecah-pecah menjadi petak kecil, mendorong gajah semakin dekat dengan permukiman manusia dan meningkatkan potensi konflik. Laju ekspansi ini meninggalkan tekanan besar yang terus menggerus ruang hidup mereka dari tahun ke tahun.

Di Aceh Utara, kondisi gajah liar semakin memprihatinkan. Petugas lapangan menggambarkan bagaimana kawanan gajah kerap terlihat terperangkap di tepi sungai atau petak-petak hutan kecil yang tersisa karena di sekelilingnya telah berubah menjadi perkebunan, tambang, dan infrastruktur manusia.

Kawanan yang dulunya bebas bergerak hingga puluhan kilometer kini kehilangan ruang hidup alami, membuat tekanan terhadap populasi semakin besar dan memicu munculnya konflik yang lebih sering.

Kondisi yang tidak kalah serius terjadi di Bengkulu. Data terbaru menunjukkan bahwa dalam periode Januari 2024 hingga Oktober 2025, sekitar 1.585 hektare habitat gajah hilang, sementara 4.000 hektare lainnya diduga telah dialihfungsikan secara ilegal.

Wilayah yang hilang ini adalah koridor jelajah vital yang selama ini menjadi penghubung sumber pakan, jalur migrasi, dan area reproduksi gajah. Ketika koridor-koridor tersebut lenyap, gajah kehilangan akses utama menuju makanan dan air, sekaligus kehilangan ruang untuk berkembang biak.

Para ahli menyebut fenomena ini sebagai “ancaman sistemik” karena dampaknya tidak hanya jangka pendek, tetapi dapat menghancurkan kelangsungan hidup spesies dalam jangka panjang.

Peran Ekologis Gajah

Gajah Sumatra bukan sekadar satwa karismatik, mereka adalah “insinyur ekosistem” yang perannya tidak tergantikan bagi kesehatan hutan tropis.

Melalui kotorannya, gajah menyebarkan berbagai jenis biji dalam jarak puluhan kilometer, membantu regenerasi alami hutan. Saat bergerak, tubuh mereka yang besar membuka jalur baru yang kemudian digunakan satwa-satwa lain, menjaga dinamika vegetasi dan struktur hutan.

Mereka juga menciptakan kubangan atau lebung yang menjadi habitat ikan air tawar dan beragam fauna penting, terutama di wilayah Sumatra Selatan.

Sebagai spesies payung, keberadaan gajah memastikan bahwa perlindungan terhadap mereka otomatis melindungi ribuan spesies lain yang hidup di dalam ekosistem yang sama. Hilangnya gajah bukan hanya hilangnya satu spesies, tetapi juga runtuhnya fungsi ekologis yang menopang kehidupan hutan secara keseluruhan.

Meski situasinya kritis, berbagai upaya konservasi masih memberikan harapan. Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan melakukan rehabilitasi habitat, pemetaan ulang populasi, hingga membentuk unit konservasi khusus di Aceh yang menjadi benteng terakhir gajah Sumatra.

Program “flying squad” di Riau yang menggunakan gajah terlatih untuk mengurangi konflik juga terbukti efektif, dan model ini kini dipertimbangkan untuk diterapkan di wilayah lain.

Di sisi lain, masyarakat lokal memainkan peran besar sebagai garda terdepan. Melalui penanaman tanaman yang tidak disukai gajah seperti cabai dan jahe, serta edukasi konservasi, hubungan harmonis antara manusia dan gajah perlahan mulai dibangun.

Di tengah bencana banjir bandang Aceh pada akhir 2025, kisah empat gajah jinak bernama Abu, Mido, Ajis, dan Noni menjadi pengingat yang menyentuh bahwa gajah bukan hanya penjaga ekosistem, tetapi juga penyelamat manusia.

Mereka dikerahkan untuk membersihkan kayu gelondongan besar yang menyumbat jalan dan permukiman, membuka akses bagi tim evakuasi, hingga membantu pengiriman logistik.

Ironisnya, di saat mereka membantu manusia yang sedang kesulitan, habitat mereka sendiri terus menyusut akibat aktivitas manusia. Kisah mereka bukan sekadar cerita heroik, tetapi refleksi mendalam tentang hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Menyelamatkan gajah Sumatra berarti menyelamatkan hutan, ekosistemnya, dan masa depan manusia yang bergantung pada kesehatan lingkungan tersebut.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 09 Dec 2025

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 11 Des 2025

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS