barang
Senin, 19 Mei 2025 15:13 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA - Anda tentu sudah sering melihat berbagai barang mewah yang kerap diperbincangkan. Apalagi, Anda tentu sudah tidak asing lagi melihat beberapa orang teman Anda atau selebriti di media sosial memamerkan berbagai barang bermerek.
Namun ternyata, kepemilikan barang bermerek atau branded kini tak lagi terbatas pada kalangan elit. Saat ini fenomena kelas menengah yang gemar mengenakan tas desainer, jam tangan mewah, atau sepatu edisi terbatas seolah menjadi pemandangan yang lumrah.
Barang-barang branded yang dulunya identik dengan kemewahan dan status sosial tinggi, kini justru semakin diminati oleh masyarakat berpenghasilan tetap yang rela mencicil demi tampil seolah ‘naik kelas’.
Lalu, apa yang sebenarnya mendorong warga kelas menengah untuk begitu terobsesi dengan barang bermerek? Apakah ini soal kualitas produk, gengsi sosial, atau sekadar pengaruh tren digital? Berikut penjelasannya.
Seperti yang dilansir dari India Today, menurut investor dan pakar pasar Abhijit Chokshi, bukan berarti barang-barang mewah menjadi lebih murah, melainkan kelas menengah yang semakin bersemangat untuk terlihat kaya.
Ia sempat menulis di platform X (dulu Twitter), “75% dari seluruh pengeluaran untuk barang mewah berasal dari kelas menengah. Pada tahun 1995, Louis Vuitton menjual tas seharga 40.000 rupee hanya kepada kalangan elite yang berasal dari keluarga kaya lama. Pada tahun 2025, mereka menjual tas seharga 2,8 lakh rupee kepada orang-orang berusia 30-an dengan gaji tetap, dan dibayar secara cicilan.”
Ia menambahkan, “Apa yang berubah? Barang mewah tidak menjadi lebih murah. Kelas menengah menjadi kecanduan untuk terlihat kaya. Ini adalah utas tentang bagaimana kemewahan menjadi jebakan yang menyamar sebagai simbol status bagi orang-orang yang mengejar gengsi, bukan kekayaan sejati.”
Chokshi menambahkan bahwa pada tahun 1995, sebuah tas Louis Vuitton seharga sekitar 40.000 rupee atau sekitar Rp76,9 juta hanya dibeli oleh keluarga-keluarga elite di India. Sekarang, di tahun 2025, merek yang sama menjual tas seharga 2,8 lakh rupee dan orang-orang membelinya dengan cicilan. Hal ini tentu tidak asing bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa mencicil untuk membeli barang-barang bermerek.
Faktanya, sekitar 75% dari total pengeluaran barang mewah saat ini berasal dari kelas menengah, katanya. Perubahan ini bukan karena meningkatnya pendapatan, tetapi karena pengaruh media sosial, pemasaran yang cerdas, dan tekanan dari lingkungan sosial yang menciptakan keinginan untuk memamerkan kesuksesan, meskipun hal itu sebenarnya tidak nyata.
Ia menjelaskan bahwa industri barang mewah memanfaatkan kebutuhan manusia akan status dan rasa diterima. Di zaman sekarang, orang membeli jam tangan mahal, tas desainer, atau pakaian bermerek bukan demi kenyamanan atau kualitas, tetapi untuk berfoto, mendapatkan pengikut, dan merasa diperhatikan. Barang mewah kini lebih soal visibilitas, bukan kekayaan.
Meski begitu, Anda perlu memahami bahwa tetap ada harga tersembunyi di balik itu semua. Banyak orang membeli barang-barang mahal ini dengan cicilan atau kartu kredit. Artinya, mereka menambah utang dan mengurangi dana untuk tabungan atau investasi.
Jadi, lain kali ketika Anda tergoda membeli barang bermerek atau barang dengan label desainer, ada baiknya berhenti sejenak dan bertanya: apakah ini demi kepuasan pribadi, atau hanya untuk mendapat pengakuan publik?
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh pada 19 Mei 2025
Bagikan
Kelas Menengah
23 hari yang lalu